Kendal, pcnukendal.com - Hukum kepyur menjadi salah satu topik
Podcast Serial ke-3 Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) PCNU
Kabupaten Kendal di Ballroom Bank Nusamba Cepiring, Sabtu (13/01/2024).
Wakil Katib PCNU Kendal KH. Moh. Muzakka Mussaif yang bertindak sebagai
moderator mengawali pengantar dengan menjelaskan defisini kepyur.
Istilah kepyur berasal dari Bahasa Jawa yang artinya menaburkan sesuatu
yang sifatnya kecil pada tempat tertentu bisa berupa makanan, bisa di
lantai atau tanah.
“Budaya kepyur sendiri adalah budaya seseorang memberikan bagian kecil
bisa berupa uang atau barang atau makanan kepada pihak lain untuk
menjalin silaturahmi atau pendekatan kepada masyarakat,” terang Kiai
Muzakka.
“Di desa, ada tradisi kepyur duit, contohnya pada acara tedhak siten.
Namun, budaya kepyur ini sering dimaknai negatif dalam kehidupan
sekarang, karena selalu disangkutpautkan dengan pemilihan aktivitas
politik,” lanjutnya.
“Lalu bagaimana hukumnya, apakah uang/barang kepyuran itu bisa dimaknai
sebagai sedekah, uang transport atau dihukumi haram sebagaimana suap?
Kalau ini dianggap negatif bagaimana mengubah budaya ini dari negatif ke
positif,” kata Kiai Muzakka membuka diskusi.
Ketua LDNU Kendal KH. Yusro Mubarok lantas memberikan tanggapan bahwa
kepyur bukan masuk kategori uang sogokan atau risywah. Kepyur termasuk
budaya masyarakat.
“Contohnya ketika seseorang membeli kerbau, kemudian kerbau tersebut
diarak keliling desa lalu saat akan memandikan kerbau di sungai, si
pemilik akan mengepyurkan uang logam agar anak-anak ikut membantu
menggosok dan membersihkan kerbau,” tutur Kiai Yusro.
“Kepyur pada kegiatan politik bisa juga dikategorikan sebagai pengganti atau bisyaroh dan hukumnya boleh. Apalagi ada hadis Nabi asshodaqatu thuthfi’ul balaa,
sedekah menolak bala. Hanya saja lebih baik ditertibkan, misalkan ada 3
atau 4 calon patungan untuk memberi bisyaroh, sebagai ganti transport
atau pengganti uang kerja kepada masyarakat yang ke TPS dengan ada
batasan nominal kepyur tersebut,” lanjutnya.
Senada dengan Kiai Yusro, Ketua Pergunu Kendal KH. Muhammad Umar Said
berpendapat bahwa kepyur memang budaya, walaupun secara bahasa juga
bukan masuk ketegori risywah. Namun, ia menyoroti kepyur dari mudharat
yang ditimbulkan.
“Misalkan pencalonan kepala desa atau pemilihan politik lainnya, orang
yang kepyur mempunyai niat kurang baik, bisa karena dana kepyur ini
berasal dari utang atau ada ‘botoh’ yang menjamin. Nanti ketika menjadi
pemimpin dia akan makan uang rakyat. Dalam Islam sendiri memandang
kepemimpinan dengan kriteria pemimpin yang amanah, pintar dan
sebagainya. Selama kepyur itu masih membudaya dan tidak ada edukasi
untuk meningkatkan pola pikir masyarakat. Maka rasanya sulit mendapat
pemimpin yang benar-benar baik,” jelas Kiai Umar.
“Misal karena masih miskin, mungkin boleh menerima kepyur. Tetapi kalau
yang berkecukupan dan memiliki ilmu serta berpendidikan, maka memilih
seseorang berdasarkan rasional. Di sinilah prinsip al hukmu yaduru ma'a illatihi wujudan wa adaman (dalam mewujudkan atau meniadakan hukum tergantung kepada illat-nya),” imbuhnya.
Pendapat hukum kepyur bergantung pada konteks atau illat-nya dijelaskan pengurus LDNU Kendal Muhammad Amirudin.
“Kepyur itu diperbolehkan ketika dari awal fulan ingin memilih si A dan
menerima pemberian dari si A. Namun yang tidak diperbolehkan ketika hari
pemilihan si B membayar fulan untuk memilih dia, dengan tujuan
mengalihkan pilihan. Yang lebih penting lagi adalah dengan mengedukasi
masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang terbaik dengan melihat
track record dan kapabilitas calon,” kata Amirudin.
Katib Syuriyah PCNU Kendal KH. Abdul Majid menanggapi kepyur bila
diartikan secara bahasa sangat luas sebagaimana dijelaskan Kiai Yusro
dan Kiai Umar Said. Menurut nya, perlu adanya pembatasan istilah atau
defisini kepyur, apakah termasuk hadiah, sedekah, atau hibah.
“Karena ini juga akan sangat menentukan suatu hukum dan perlu diingat sebuah kaidah ushul fiqh, maqashid al-lafdzi ‘alaa niyyah al-laafidz (maksud sebuah ucapan dikembalikan kepada niat si pengucap),” ucap Kiai Majid.
Berdasarkan 4 penanggap tersebut, Rois Syuriah PCNU Kendal KH. Muhammad
Danial Royyan yang menjadi narasumber menjelaskan. Abah Danial kemudian
mengutip kaidah al 'adatu muhakkamah, sebuah adat kebiasaan masyarakat,
bisa dijadikan sebagai sandaran.
“Ada pemikiran-pemikiran dari beragam argumen tadi yang perlu dipertemukan, al-jam'u wa al-tawfiq,
kompromi antara dalil-dalil yang saling bertentangan dengan mencari
solusi yang dapat diterima. Melihat beragam pendapat yang berdasar
perspektif idealisme, sementara yang lain melalui pragmatisme bahkan
oportunisme,” ungkapnya.
“Dalam Islam ada perbedaan perlakuan hukum karena tingkat keilmuan
seseorang. Misalkan bagi seorang sufi alim, ya janganlah. Sedangkan jika
ada orang awam jika menjadikan dia tidak milih, ya dikepyurlah,” lanjut
Abah Danial.
Abah Danial juga menerangkan perlu adanya edukasi kepada masyarakat
untuk mengubah suatu budaya yang sudah membudaya lama, tetapi tidak bisa
secara frontal. Rasionalitas publik dan penguatan demokrasi didorong
melalui ikhtiar yang gradual atau bertahap.
“Jadi ini bukan hukum yang tasydid (memberatkan), tapi takhfif
(keringanan) yang memiliki makna sebagai hadiah untuk menarik simpati,
perkenalan, dan berbuat baik kepada orang lain,” pungkasnya. (Muhammad Kridaanto/muf)
Sumber: https://pcnukendal.com/informasi/id/20240120001/podcast_lembaga_dakwah_pcnu_kendal_bahas_budaya_kepyur_begini_ulasannya
Tanggal Rilis: 20-01-2024