Oleh : Muhammad Kridaanto
Manusia memang tempat salah dan khilaf, begitulah pepatah yang sering kita dengar. Mungkin pepatah ini cocok untuk pengalamanku
yang terjadi beberapa waktu lalu.
Sekitar dua minggu yang lalu, ketika pulang dari
sebuah pusat perbelanjaan di kota Semarang ada pengalaman yang membuatku tak
bisa melupakannya. Saat itu niat untuk membeli sebuah HP (handphone) untuk mengganti HP lama yang
sudah agak eror. Malangnya ketika sudah mencari-cari ternyata belum ada yang
cocok, khususnya terkait faktor finansial dan spesifikasi. Hingga akhirnya dengan
berat hati harus pulang dengan tangan kosong.
Mental saya kembali diuji, yang ditambah dengan panas
sinar matahari yang menyengat dan rasa capek yang menyelimuti badan. Setelah
keluar dari pusat perbelanjaan dan mengendarai sepeda motor untuk kembali ke
kampus. Saat itu motor saya berhenti karena sebuah lampu lalu lintas yang
sedang menunjukkan warna merah yang mengartikan agar para pengguna jalan untuk
berhenti. Lampu lalu lintas di jalan itu memang memiliki durasi lampu merah yang cukup lama, hal ini mengharuskan para pengguna jalan untuk bersabar. Saat itu
posisi motor saya berada di pinggir dan di barisan depan, sehingga ketika lampu
sudah berwarna hijau dapat leluasa untuk melaju lagi.
Ada gelagat yang tak beres, hal ini saya rasakan
karena mendengar suara klakson sepeda motor dari barisan belakang, padahal
warna lampu masih merah. Tiba-tiba sebuah benturan dari belakang mengenai
sepeda motor saya.
Lalu saya pun dengan segera melihat ke arah belakang dan
agak sedikit marah dan berujar : “Maksudnya apa?”
Lalu di pengendara yang menabrak motor itu pun bilang
dengan nada sinis : “Ayo sini minggir dulu! Kita selesaikan dulu semuanya.”
Karena sesaat kemudian suara klakson bersahutan dan
saya melihat lampu telah menunjukkan warna hijau yang menyuruh para pengguna
untuk segera jalan. Dengan tak menghiraukan ucapan pengendara yang menabrak,
saya pun melajukan kembali sepeda motor. Di luar dugaan ternyata pengendara
yang menabrak saya malah melajukan motornya di samping saya sambil marah-marah
dan menyuruh saya berhenti. Karena kaget dan takut ternyata badan orang
tersebut besar dan tinggi dengan mata yang seakan penuh bara api, saya pun lebih
melajukan motor dengan lebih cepat lagi. Peristiwa ini begitu cepat terjadi,
hingga hal ini menjadi ajang kejar-kejaran, bukan saya yang mengejar si
penabrak, malah sebaliknya.
Dengan sigap saya melewati motor dan mobil di jalan
raya begitu pula dengan penabrak saya tersebut. Sampai saya melihat indikator
bensin yang tinggal satu digit, artinya bensin di sepeda motor saya hampir
habis.
Saat melihat sebuah SPBU, saya memutuskan untuk
menghentikan laju kendaraan, begitu pula dengan kendaraan yang telah mengejar
saya pun menghentikan kendaraannya di samping motor saya. Saat itu keadaan SPBU
cukup ramai dengan antrean sepeda motor yang berurutan untuk kembali mengisi
bahan bakar kendaraan masing-masing.
Si penabrak pun tiba-tiba berkata dengan setengah
berteriak : “Ayo selesaikan yang tadi! Maksudnya apa?”
“Ketika tadi di
rambu lampu lalu lintas, motor bapak telah menabrak motor saya, sehingga karena
agak emosi, saya berucap dengan nada yang agak marah. Saya minta maaf atas
kejadian tadi.” jawab saya.
Tetapi dari raut muka si penabrak menunjukkan rasa
marah dan tidak terima, malah seperti ingin mengajak saya berkelahi.
Dengan menguatkan diri, saya berusaha tidak mau
meladeni kata-kata makian dari si penabrak, di samping suasana SPBU yang ramai
juga karena tak ingin ada perkelahian. Sampai ada seorang bapak yang selesai
mengisikan bahan bakar motornya menghampiri kami yang memang terlihat sedang perang
mulut. Bapak tersebut sudah cukup tua, ucapannya pun begitu bijak dan bagaikan
bapak yang ingin melerai anak-anaknya yang sedang bertengkar.
Sang bapak lalu bertanya kepada kami apa yang terjadi.
Secara mengejutkan si penabrak malah menjawab bahwa dirinya ditabrak dari
belakang oleh saya.
Karena merasa telah difitnah saya membela diri dengan
mengatakan bahwa keadaan yang sesungguhnya terbalik, saya yang telah ditabrak.
Si penabrak pun merasa terpojok dan dengan setengah
memaksa tiba-tiba menarik tangan saya menjauh dari bapak tua tersebut dan berbisik
: “Ayo selesaikan tempat lain, saya ini aparat.”
Sontak saya kaget dan menolak serta menarik tangan
saya lagi.
Merasa kondisi sudah tidak bisa diselesaikan dengan
kepala dingin, apalagi saya tahu bahwa si penabrak adalah seorang “aparat
pemerintah”.
Lalu saya mengucapkan permintaan maaf lagi dan meminta
agar perseteruan ini segera diakhiri, saya juga bilang sudah memaafkan ulah si
penabrak.
Si penabrak tetap tidak terima, malah saat akhir
perseteruan ini si penabrak menyuruh saya untuk memberi uang 50 ribu rupiah
untuk ganti bensin mengejar saya. Untuk mengakhiri peristiwa yang “aneh” ini
akhirnya saya buka dompet, saya masukkan uang 10 ribu ke saku jaketnya.
Masih dengan muka yang marah si penabrak lalu
meninggalkan saya, setelah sebelumnya mendorong motor saya sehingga terjatuh
dan lalu melajukan kembali motornya.
Keadaan itu benar-benar menguras energi saya, timbul rasa
marah, kesal, capek, sedih sekaligus iba. Saya sudah berjanji untuk tidak akan
menggunakan kekerasan. Hal ini sudah menjadi keputusan saya karena terinspirasi
Ahimsa (paham pantang kekerasan) dari
Mahatma Gandhi. Gandhi pun pernah menulis di otobiografi miliknya “Manusia dan
perbuatannya adalah dua hal yang berbeda. Jika perbuatannya itu baik akan
diterima dengan baik, tapi jika perbuatan itu jahat akan ditentang … Bencilah
dosanya, tapi jangan orang yang berbuat dosa….” (1)
Saya marah karena si penabrak adalah orang Jawa yang lupa
pada sebuah ungkapan yang mengandung falsafah tinggi yaitu Ojo Adigang Adigung Adiguna. Ungkapan tersebut memberi maksud agar
apapun jabatan, pangkat yang tinggi maupun harta yang melimpah janganlah
menjadikan kita menjadi sombong dan angkuh.
Adigang adalah ’kijang’ adigung ’gajah’ dan adiguna
’ular’ ketiganya mati bersama dalam pertikaian karena kesombongan masing-masing.
(2)
Di situlah mungkin pelajaran yang saya dapatkan dari
pengalaman ini yaitu melatih kesabaran dan komitmen ahimsa serta pelajaran untuk menahan diri dari sikap sombong dan
angkuh. Karena sejatinya memang benar tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan
Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Referensi :
1. Gandhi, M.K. (1958). Semua Manusia Bersaudara (Kustiniyati Mochtar). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia dan PT Gramedia.
2. Budiyanto, Eko Wahyu. Pandhegan Aja "Adigang,
Adigung, Adiguna, Sapa Sira Sapa Ingsun". (23 Februari 2013). Suara Merdeka Online diakses tanggal 25
September 2014 dari
Sumber gambar :
http://serbaserbiallartikel.blogspot.com/2013/05/kampanye-anti-kekerasan-anak-tanggung.html
http://serbaserbiallartikel.blogspot.com/2013/05/kampanye-anti-kekerasan-anak-tanggung.html
“Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati –Bahasa Daerah Harus Diminati”
pengalaman yg menarik kawan sebagai pembelajaran agar "ojo adigang-adigun-adiguno". moga menang bro.
BalasHapusTerima kasih masbro, doanya dikabulkan berhasil dpt juara 1. :)
HapusDunia memang keras. :3
BalasHapusDan kita akan berusaha menyikapinya dengan menebar kebaikan dan mengamalkan ahimsa. :)
HapusSelamat Mas :) membaca tulisannya memang pantas nih jadi juara pertama.
BalasHapusTerima kasih. :)
Hapusmari terus berkarya dan membagi pengalaman dan pengetahuan kita. :)