Sebuah tulisan yang menarik sebagai penyemangat dan renungan untuk kita selaku bagian dari masyarakat, bangsa dan negara ini.
------------------------------------------------
Memenangkan
Indonesia------------------------------------------------
Anies
Baswedan ; Rektor Universitas Paramadina
Harian KOMPAS, tanggal 16
April 2014
INDONESIA
harus diurus oleh orang baik: bersih dan kompeten. Republik ini didirikan oleh
para pemberani: kaum terdidik yang sudah selesai dengan dirinya. Efeknya
dahsyat. Bung Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak. Semua merasa
ikut punya Indonesia. Semua beriuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka
dan berdaulat. Ada yang beriuran tenaga, pikiran, uang, barang, dan termasuk
nyawa. Namun, merdeka itu bukan cuma soal menggulung kolonialisme. Merdeka
adalah juga soal menggelar kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kini kepada
siapa republik ini akan dititipkan untuk diurus? Semua yang terpilih dalam
pemilu tahun ini akan mengatasnamakan kita semua selama lima tahun ke depan.
Semua perkataan dan perbuatan yang dilakukan atas nama kita semua. Semua UU dan
peraturan daerah yang dibuat akan mengikat kita semua.
Kebangkitan
”wong waras”
Saat
tantangan bangsa ini masih banyak yang mendasar, seperti pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, transportasi, dan energi, maka—apa pun
partainya—tantangan yang harus dijawab sama. Saat hambatan terbesar negeri ini
adalah korupsi dan hulu korupsi adalah urusan kekuasaan, maka apa pun partainya
akan berhadapan dengan otot kokoh koruptor yang sama.
Pemilu ini
bukan soal warna partai. Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang
bermasalah ada di berbagai partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua
partai. Pemilu harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik
lawan orang bermasalah. Kita harus memastikan bahwa orang yang terpilih akan
hadir untuk mengurus bukan menguras negara. Ini pemilu keempat di era
demokrasi, sudah saatnya menjadi ajang kebangkitan wong waras, kebangkitan
orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah.
Indonesia
membutuhkan kemenangan orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten
berbondong-bondong menang dalam pemilu. Persyaratan utama bagi orang-orang baik
untuk kalah dan tumbang dalam pemilu adalah orang-orang baik lainnya hanya
menonton dan tak membantu. Ironisnya, Indonesia kini penuh dengan penonton:
ingin orang baik menang di pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik, tetapi
hanya mau beriuran harap, beriuran angan. Ada keengganan kolektif untuk
terlibat, untuk membantu.
Keengganan
dan skeptisisme itu sering dilandasi pandangan: buat apa membantu, toh
orang-orang baik justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat
apa membersihkan sepatu, toh bisa terkotori lagi. Namun, jika dibersihkan
secara rutin, dipakai dengan baik, dijaga dari cipratan kotor, sepatu itu akan
aman, akan bersih. Kalaupun terkotori, tugas kita adalah memastikan bahwa
sepatu itu rutin dibersihkan.
Di republik
ini, tugas kita adalah lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan
mengisinya dengan orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena
masalah, biar diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu setiap 5 tahun kita ”kirim”
orang baik lagi.
Sejak kapan
kita jadi bangsa yang suka putus asa? Tugas kita adalah menyuplai orang baik
terus-menerus. Kita harus menjaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat
panjang, dan stok orang baik di republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan
untuk pamer keluh kesah dan nglokro.
Kita
bersyukur saat melihat ada orang baik mau repot-repot masuk politik. Lihat,
bermunculan orang-orang baik yang terpilih menjadi gubernur, bupati, wali kota
ataupun anggota dewan perwakilan. Makin panjang deretan nama orang bersih dan
kompeten, orang baik yang terpanggil, dan mau turun tangan. Namun, mereka semua
hanya bisa menang, memegang otoritas, jika orang baik lainnya bersedia untuk
terlibat dan membantu.
Permasalahan
yang dihadapi, begitu banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung
dijauhi. Yang menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di
Indonesia hari ini amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan
oleh para politisi telah merendahkan makna politik dan politisi.
Politik dan
politisi tidak lagi dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja
politik dipandang sebagai mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan.
Para calon yang baik itu tergerus oleh opini bahwa semua calon itu sama:
sekadar cari kuasa untuk menguras—bukan untuk mengurus—negeri. Orang baik pun
makin sedikit yang mau turun tangan. Makin sedikit orang baik yang ”siap”
dituding sama dengan kelakuan para penguras negeri.
Jika
orang-orang baik hanya mau jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur
penggunaan uang pajak kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan,
dan tenaga kerja, misalnya, adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik
dipandang rendah, kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat hidup
orang serepublik ini dibuat. Patutkah kita diamkan?
Masih
adakah caleg baik? Ya, Indonesia masih punya stok orang baik: orang bersih dan
kompeten. Namun, mereka tidak akan bisa menang, mendapatkan otoritas untuk
mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita semua tidak ikut membantu.
Sekali lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan semata-mata karena
orang jahat berjumlah banyak, melainkan karena orang-orang baik memilih diam,
mendiamkan, dan bahkan menjauhi.
Republik
ini adalah milik kita semua. Bukan milik segelintir orang, apalagi orang-orang
yang sanggup membayar siapa saja untuk berbuat semaunya. Berhenti cuma urun
angan. Harus mau turun tangan! Tak semua orang harus ikut partai politik,
tetapi saat pemilu jangan pernah diam, membiarkan orang-orang bermasalah
melenggang tak ditantang, tak dihentikan. Pada saat pemilu, harus muncul
kesadaran kolektif bahwa ini bukan upacara politik, ini kesempatan menempatkan
orang baik jadi pengurus negeri.
Bantu
orang-orang tak bermasalah di sekitar kita yang terpanggil untuk ikut mengurus
republik agar mereka bisa menang. Jangan pernah takut mendukung. Di era
non-demokratis dulu, sikap mendiamkan dalam sebuah pemilu adalah sikap
perlawanan, kini mendiamkan adalah sikap pembiaran atas status quo.
Gelombang
baru kebangkitan
Kini kita
menyaksikan gelombang baru yang sedang bangkit. Generasi baru yang bergerak dan
membantu karena percaya, ide, dan integritas. Bukan generasi yang mau menjual
dukungan karena rupiah.
Pilihan
untuk membantu orang baik di dalam pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini
mungkin tampak tak populer, masih tampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat
dan membantu para caleg tak bermasalah.
Dunia
bergerak ke arah perbaikan tata kelola yang baik. Korupsi tak bisa langgeng, ia
makin hari makin tergerus. Bayangkan suatu saat kelak generasi anak-anak kita
hidup di era baru dan bertanya: ”Ayah, Ibu, di zaman politik Indonesia masih
penuh korupsi, apakah Ayah dan Ibu ikut korupsi, atau diam, atau ikut melawan?”
Saat itulah
pilihan sejarah tadi menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau
terlibat, sekurang-kurangnya Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. ”Ayahmu,
Ibumu, tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat republik ini
keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu, tak menjual
dukungan. Ayah dan Ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga
diri Ayah dan Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”
Izinkan
anak-anak kita bangga saat sadar bahwa mereka mewarisi negeri yang ayah dan
ibunya ikut meninggikuatkan. Saat ada kesempatan mengubah wajah kita sendiri,
wajah Indonesia kita, maka kita tak cuma diam. Kita pilih ikut membersihkan
Indonesia, jadikan orang baik sebagai pemegang amanah di negeri kita.
0 komentar :
Posting Komentar
Berikan komentar Anda untuk tulisan di atas...,