Cover Buku "The Power of Believe" |
Konsep Diri, Melejitkan Prestasi
oleh: Muhammad Kridaanto*)
“Manusia yang paling luas pengetahuannya adalah orang yang telah mengenal dirinya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuan hidup adalah untuk mengenal hakikat diri, begitulah ungkapan dari Imam Ghazali dalam kitab yang berjudul Kimiya'us Sa’adah (Kimia Kebahagiaan). Sebuah kalimat yang menguatkan hadits Nabi mengenai pentingnya mengenal diri atau hakikat diri.
Mengenal diri menjadi salah satu bagian penting dalam upaya mengetahui hakikat, konsep ataupun identitas diri. Ibarat sebuah produk, dengan mengetahui definisi akan semakin lengkap jika seorang user juga memiliki banyak deskripsi mengenai produk, mulai dari seluk-beluk, sisi positif-negatif, sampai kegunaannya.
Allah telah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi (dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30) dengan tugas untuk memakmurkan dan memelihara bumi dengan sebaik-baiknya, selain itu juga untuk tunduk dan menyembah kepada Allah SWT.
Dalam tugas tersebut, manusia sudah diberikan perlengkapan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain berupa “hati” dan “akal”. Dari kedua perlengkapan ini, manusia dapat mengenal dirinya, sehingga tidak melupakan tugas dan kodratnya sebagai manusia. Untuk mengetahui siapa dirinya, manusia dapat merenung (muhasabah) dan introspeksi . Dengan jalan tersebut, kualitas kemanusiaan yang dimilikinya akan meningkat sebagai upaya memahami alam semesta dan mengenal Sang Pencipta. Dan, dalam diri manusia yang tahu dirinya akan memperoleh kecermelangan hati.
Fitrah manusia untuk maju dan berkembang dapat diperoleh melalui upaya memaksimalkan potensi dalam dirinya. Apalagi manusia senantiasa memiliki keinginan agar eksistensi dirinya dikenal. Di sinilah manusia manusia dituntut berkontemplasi, berpikir, dan mencari tahu dirinya. Setelah mengetahui potensi diri melalui pengenalan diri, manusia dapat menganalisis lingkungan sekitarnya, tempat dimana dia berada untuk meneruskan sebuah proses bernama pengabdian dan tindakan.
Manusia sebagai Zoon Politicon
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon yang artinya manusia sebagai makhluk sosial. Sebuah istilah yang menerangkan bahwa manusia akan selalu berhubungan dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi akan menentukan arah kemana dirinya dan lingkungannya. Sehingga dari sini akan muncul pertanyaan, apa yang bisa dilakukan oleh dirinya dengan melihat hakikat diri dan posisi dimana manusia berada?
Dari sinilah manusia mencari fitrah sejatinya. Melalui fitrah sejati ini yang selanjutnya akan menghantarkan manusia untuk memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Misalkan saja kemampuan seseorang di bidang kepenulisan, akademik, keolahragaan atau seni yang dapat dikembangkan ketika seseorang terus melakukan interpretasi atas dirinya. Kemampuan atau bakat yang dimilikinya diolah untuk kebermanfaatan diri dan lingkungannya.
Dari sini manusia dapat menuju tingkatan sebagai insan kamil yang memahami diri dan senantiasa mengingat Allah. Manusia yang melupakan Tuhan tidak akan mungkin menjadi manusia yang utuh. Hal ini disebabkan kefitrahan diri yang dilawan atau berusaha dihilangkan dari dalam dirinya.
Maka menjadi pengingat kita untuk senantiasa mencari hakikat diri, meningkatkan potensi diri, dan melakukan pengabdian secara optimal. Bukankah akan terasa hambar jika potensi kita hanya untuk kepentingan pribadi tanpa dibagikan kepada orang lain.
Mari terus berbenah dan melejitkan potensi dengan jalan mengenal diri, memfungsikan suara hati dan berbagi untuk hidup dan kehidupan.
*) Salah satu tulisan yang lolos dalam lomba #BerguruPadaHadits dan masuk dalam antologi buku berjudul The Power of Believe Penerbit DIVA Press