Oleh : Muhammad Kridaanto*)
Menjelang hari pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Tahun 2024 yakni pada 14 Februari 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi, suasana hangat iklim politik akhir-akhir ini sejalan dengan panasnya suhu udara di sekitar kita.
Pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi menjadi sarana sah untuk memilih pemimpin di ranah eksekutif dan wakil-wakil di bidang legislatif. Perbedaan pilihan adalah keniscayaan yang harus diterima dengan budaya saling menghormati dan menghargai pilihan orang lain.
Dilansir dari laman resmi KPU https://www.kpu.go.id, Ketua KPU Republik Indonesia Hasyim Asy’ari mengajak semua elemen bangsa untuk bersama-sama menjadikan “Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa”, sekaligus menjadikan ini sebagai slogan yang digaungkan KPU untuk Pemilu 2024. Sebuah pemaknaan bahwa pemilu adalah arena kompetisi, arena konflik yang sah dan legal sebagai wujud dari kemajemukan dan Bhinneka Tunggal Ika dengan menjadikan proses demokrasi lima tahunan ini menjadi sarana integrasi bangsa.
Pemilu memang menjadi sarana kontestasi antar para calon untuk merebut atau mempertahankan kursi. Eddy Supriyatna (2013: 58) menerangkan dalam konteks sosial, kursi adalah atribut yang digunakan untuk menampilkan status sosial, prestise, dan gengsi para pemiliknya. Kursi dalam konteks politik dikonotasikan sebagai simbol kedudukan, tahta, atau kekuasaan. Selayaknya sebagai pengingat bahwa kursi atau kedudukan ini tak lantas berhenti pada tujuan tergapai kekuasaan, tetapi lebih mendalam lagi mengenai kepemimpinan dan kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin.
Moral Politik dalam Perspektif NU
Dalam euforia menyambut pesta demokrasi dan ramai baliho gambar calon legislatif (Caleg) maupun Capres tersebar di berbagai penjuru tempat. Ada kerinduan sekaligus rasa skeptis mengenai sosok pemimpin ideal dalam kondisi krisis multidimensional yang melanda. Di tengah manuver, obsesi, dan janji politik yang sekedar menjadi alat persuasi untuk meyakinkan masyarakat. Sementara orientasi kekuasaan dan kehendak menguasai menjadi tujuan dangkal yang ingin dicapai.
Setyo Wibowo (2014: 278) menangkap salah satu akarnya adalah kita kehilangan figur/teladan yang punya wibawa, para pemimpin sejati (seperti Mohammad Hatta, Gus Dur, Nurcholish Madjid), yang mempunyai komitmen, jujur, berani, memiliki kontribusi nyata dalam hidup. Pendek kata idealisasi pemimpin yang dapat mentransformasikan berbagai realitas rakyat secara arif, bijak, dan bertanggung jawab.
Angin segar muncul dari hasil Sidang Komisi Rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) 2023 yang digelar bulan September 2023 di Kompleks Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Dalam Munas ini salah satunya menghasilkan rekomendasi pedoman berpolitik bagi warga NU dan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 yang termuat di laman NU Online https://www.nu.or.id.
Dalam pandangan NU, doktrin wujub nashbil imam (kewajiban mengangkat pemimpin/penguasa) bukan sekedar bermakna tindakan memilih penguasa/kepala negara saja, melainkan lebih luas lagi: yaitu partisipasi warga secara aktif dalam politik dalam pengertian seluas-luasnya, sebagai bentuk tanggung jawab moral seorang warga negara dalam pembangunan kehidupan umum yang lebih bermaslahah, berkeadilan, dan demokratis sesuai dengan ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah.
Munas NU juga menegaskan dalam menghadapi Pemilu mendatang, baik Pileg atau Pilpres, warga NU seharusnya berpegang kepada sembilan butir pedoman berpolitik yang sudah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-28 pada 1989 di Krapyak. Sembilan butir pedoman politik tersebut yaitu: Pertama, berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, politik bagi NU merupakan politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
Ketiga, politik bagi NU merupakan pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Keempat, berpolitik bagi NU harus dilakukan dengan moral, etika, dan budaya, berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatusan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh khikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, berpolitik bagi NU harus dilakukan dengan kejujuran murni dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan petaturan, dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus nasional dan dilakukan sesuai dengan ahlaqul karimah sebagaimana pengamalan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah.
Ketujuh, berpolitik bagi NU, dengan dalil apa pun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam politik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Kesembilan, berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk memungkinkan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Hasil rekomendasi ini menjadi oase dan rambu-rambu ihwal pedoman berpolitik warga NU sekaligus memberikan gambaran kepemimpinan yang berorientasi tercapainya kemaslahatan bersama.
KH. Marzuqi Mustamar, Ketua PWNU Jawa Timur dalam kanal youtube menyampaikan pesan penting merespon Pilpres 2024. Beliau menceritakan wawasan historis saat dahulu Mbah KH. Wahab Hasbullah pernah ikut dalam koalisi Nasakom, dengan tugas untuk merangkul dan mengemong warga Indonesia yang terlalu kiri, perlahan-lahan diajak untuk bergeser ke tengah. Hari ini anak cucu yang dulu eks ’65 sekarang sudah salat bahkan mondok di pondok pesantren, demikian ini dikatakan oleh KH. Marzuqi Mustamar.
Sosok Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari pernah ikut Masyumi, beliau menjadi tokoh Masyumi, dengan tujuan merangkul warga Indonesia yang kanan, untuk diajak mencintai NKRI dan Pancasila. Jadi, kiai-kiai NU mengejawantahkan politik pada hakekat prinsip al-muhafadzatuddin (menjaga agama) dan menjaga persaudaraan, dengan ukhuwah nahdliyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah islamiyah, dan ukhuwah basyariyah untuk tetap berpegang menuju politik kebangsaan. Yang kaum kiri diajak salat dan tahlilan, yang kanan bisa mencintai NKRI dan Pancasila. Inilah yang menjadikan di negara Indonesia tetap rukun, lebih mengedepankan musyawarah dan menjaga persaudaraan.
Tanggung Jawab Kepemimpinan
Politik dan kepemimpinan bukan hanya perkara soal kursi dan kekuasaan saja. Rasulullah SAW mengingatkan kita mengenai tanggung jawab dan menjaga integritas sebagai seorang pemimpin, yang termaktub dalam hadist: Kullukum ra’in wakullukum mas`ulun an raiyyatihi (setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang bagaimana kepemimpinannya).
Tentu hal ini menjadi catatan penting bagi kita semua, khususnya kontestan yang akan berlaga di Pemilu 2024 untuk tidak terlalu gila kursi serta memahami bahwa setiap kekuasaan akan dimintai pertanggungjawaban.
Seperti halnya roda, terkadang di bawah dan atas, kadang dipakai kadang dibuang, semua akan ada masa kejadiannya. Kursi, kekuasaan, kepemimpinan memiliki tenggat waktu, masa aktif, dan durasi. Tak elok jika menganggap kekuasaan yang berada di tangan akan abadi, apalagi menganggap tak akan terganti dengan kepongahan yang makin menjadi, seperti dalam kisah ketakaburan Fir’aun.
Tulisan KH. A. Mustofa Bisri dalam buku Pesan Islam Sehari-Hari, beliau mengajak kita merenungkan syair Arab mengenai kekuasaan ini. Idzaa hamalta ila qubuuri janaazatan, Fa’lam biannaka ba'daha mahmuulu, Wa idzaa wuliita umuura qaumin saa’atan, Fa’lam biannaka ba'daha ma’zuulu.
(Apabila suatu ketika kau memikul keranda ke kuburan, Ingatlah bahwa sesudah itu kau akan dipikul pula. Dan bila kau diserahi sesuatu kekuasaan atas kaum, Ketahuilah suatu saat kau akan diberhentikan juga).
Perlu menata niat kembali bahwa mendapat kekuasaan artinya menjalankan amanah sebagaimana dicontohkan pada akhlak Nabi. Menjadi pemimpin yang mentransformasi realitas dan suara hati rakyat, yang jujur, adil didasari moralitas agama, konstitusional, dan pengambilan kebijakan yang penuh kebijaksanaan. Setiap kepemimpinan akan mendapat penilaian dan dimintai pertanggungjawaban di dunia maupun akhirat. Mengutip prinsip dari Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Semoga kita senantiasa diberi petunjuk dan penjagaan Allah SWT untuk menjaga komitmen sebagai seorang pemimpin yang berintegritas, baik dalam lingkup individu, keluarga maupun masyarakat luas. Aamiin ya Robbal ‘alamin.
Referensi:
Amaliyah, Suci. 2023. Rekomendasi Munas-Konbes NU 2023 soal Politik Warga NU, Konflik Rempang, dan Problem Global. Diakses pada 9 Oktober 2023, dari https://www.nu.or.id/nasional/rekomendasi-munas-konbes-nu-2023-soal-politik-warga-nu-konflik-rempang-dan-problem-global-85cDH
Bisri, A. Mustofa. 2018. Pesan Islam Sehari-hari. Yogyakarta: Penerbit Laksana.
Humas KPU RI. 2022. Komitmen Jadikan Pemilu Sarana Integrasi Bangsa. Diakses pada 10 Oktober 2023, dari https://www.kpu.go.id/berita/baca/10581/komitmen-jadikan-pemilu-sarana-integrasi-bangsa
Mahbub, Moh. 2023. NU Tulang Punggung Negara. Yogyakarta: Sulur Pustaka.
Marizar, E. S. 2013. Kursi Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit NARASI.
Mustamar, Marzuki. "Merespon Pilpres 2024”. Diunggah pada 4 Oktober 2023, dari https://www.youtube.com/watch?v=w7iOJGz4v3k
Wibowo, A Setyo Dan Haryanto Cahyadi. 2014. Mendidik Pemimpin dan Negarawan. Yogyakarta: Penerbit Lamalera.
*Penulis adalah Koord. Bidang Penulisan Artikel Nahdlatul Ulama Kendal Online (NUKO) dan Wakil Sekretaris PAC GP Ansor Kecamatan Patebon
Link artikel publikasi dari: https://pcnukendal.com/artikel/id/20231017001/pemilu_kursi_dan_roda_kepemimpinan