Selasa, 30 September 2014

Ojo Adigang Adigung Adiguna

Oleh : Muhammad Kridaanto

Manusia memang tempat salah dan khilaf, begitulah pepatah yang sering kita dengar. Mungkin pepatah ini cocok untuk pengalamanku yang terjadi beberapa waktu lalu.
Sekitar dua minggu yang lalu, ketika pulang dari sebuah pusat perbelanjaan di kota Semarang ada pengalaman yang membuatku tak bisa melupakannya. Saat itu niat untuk membeli sebuah HP (handphone) untuk mengganti HP lama yang sudah agak eror. Malangnya ketika sudah mencari-cari ternyata belum ada yang cocok, khususnya terkait faktor finansial dan spesifikasi. Hingga akhirnya dengan berat hati harus pulang dengan tangan kosong.
Mental saya kembali diuji, yang ditambah dengan panas sinar matahari yang menyengat dan rasa capek yang menyelimuti badan. Setelah keluar dari pusat perbelanjaan dan mengendarai sepeda motor untuk kembali ke kampus. Saat itu motor saya berhenti karena sebuah lampu lalu lintas yang sedang menunjukkan warna merah yang mengartikan agar para pengguna jalan untuk berhenti. Lampu lalu lintas di jalan itu memang memiliki durasi lampu merah yang cukup lama, hal ini mengharuskan para pengguna jalan untuk bersabar. Saat itu posisi motor saya berada di pinggir dan di barisan depan, sehingga ketika lampu sudah berwarna hijau dapat leluasa untuk melaju lagi.
Ada gelagat yang tak beres, hal ini saya rasakan karena mendengar suara klakson sepeda motor dari barisan belakang, padahal warna lampu masih merah. Tiba-tiba sebuah benturan dari belakang mengenai sepeda motor saya. 
Lalu saya pun dengan segera melihat ke arah belakang dan agak sedikit marah dan berujar : “Maksudnya apa?”
Lalu di pengendara yang menabrak motor itu pun bilang dengan nada sinis : “Ayo sini minggir dulu! Kita selesaikan dulu semuanya.”
Karena sesaat kemudian suara klakson bersahutan dan saya melihat lampu telah menunjukkan warna hijau yang menyuruh para pengguna untuk segera jalan. Dengan tak menghiraukan ucapan pengendara yang menabrak, saya pun melajukan kembali sepeda motor. Di luar dugaan ternyata pengendara yang menabrak saya malah melajukan motornya di samping saya sambil marah-marah dan menyuruh saya berhenti. Karena kaget dan takut ternyata badan orang tersebut besar dan tinggi dengan mata yang seakan penuh bara api, saya pun lebih melajukan motor dengan lebih cepat lagi. Peristiwa ini begitu cepat terjadi, hingga hal ini menjadi ajang kejar-kejaran, bukan saya yang mengejar si penabrak, malah sebaliknya.
Dengan sigap saya melewati motor dan mobil di jalan raya begitu pula dengan penabrak saya tersebut. Sampai saya melihat indikator bensin yang tinggal satu digit, artinya bensin di sepeda motor saya hampir habis.
Saat melihat sebuah SPBU, saya memutuskan untuk menghentikan laju kendaraan, begitu pula dengan kendaraan yang telah mengejar saya pun menghentikan kendaraannya di samping motor saya. Saat itu keadaan SPBU cukup ramai dengan antrean sepeda motor yang berurutan untuk kembali mengisi bahan bakar kendaraan masing-masing.
Si penabrak pun tiba-tiba berkata dengan setengah berteriak : “Ayo selesaikan yang tadi! Maksudnya apa?”
 “Ketika tadi di rambu lampu lalu lintas, motor bapak telah menabrak motor saya, sehingga karena agak emosi, saya berucap dengan nada yang agak marah. Saya minta maaf atas kejadian tadi.” jawab saya.
Tetapi dari raut muka si penabrak menunjukkan rasa marah dan tidak terima, malah seperti ingin mengajak saya berkelahi.
Dengan menguatkan diri, saya berusaha tidak mau meladeni kata-kata makian dari si penabrak, di samping suasana SPBU yang ramai juga karena tak ingin ada perkelahian. Sampai ada seorang bapak yang selesai mengisikan bahan bakar motornya menghampiri kami yang memang terlihat sedang perang mulut. Bapak tersebut sudah cukup tua, ucapannya pun begitu bijak dan bagaikan bapak yang ingin melerai anak-anaknya yang sedang bertengkar.
Sang bapak lalu bertanya kepada kami apa yang terjadi. Secara mengejutkan si penabrak malah menjawab bahwa dirinya ditabrak dari belakang oleh saya.
Karena merasa telah difitnah saya membela diri dengan mengatakan bahwa keadaan yang sesungguhnya terbalik, saya yang telah ditabrak.
Si penabrak pun merasa terpojok dan dengan setengah memaksa tiba-tiba menarik tangan saya menjauh dari bapak tua tersebut dan berbisik : “Ayo selesaikan tempat lain, saya ini aparat.”
Sontak saya kaget dan menolak serta menarik tangan saya lagi.
Merasa kondisi sudah tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin, apalagi saya tahu bahwa si penabrak adalah seorang “aparat pemerintah”.
Lalu saya mengucapkan permintaan maaf lagi dan meminta agar perseteruan ini segera diakhiri, saya juga bilang sudah memaafkan ulah si penabrak.
Si penabrak tetap tidak terima, malah saat akhir perseteruan ini si penabrak menyuruh saya untuk memberi uang 50 ribu rupiah untuk ganti bensin mengejar saya. Untuk mengakhiri peristiwa yang “aneh” ini akhirnya saya buka dompet, saya masukkan uang 10 ribu ke saku jaketnya.
Masih dengan muka yang marah si penabrak lalu meninggalkan saya, setelah sebelumnya mendorong motor saya sehingga terjatuh dan lalu melajukan kembali motornya.

Keadaan itu benar-benar menguras energi saya, timbul rasa marah, kesal, capek, sedih sekaligus iba. Saya sudah berjanji untuk tidak akan menggunakan kekerasan. Hal ini sudah menjadi keputusan saya karena terinspirasi Ahimsa (paham pantang kekerasan) dari Mahatma Gandhi. Gandhi pun pernah menulis di otobiografi miliknya “Manusia dan perbuatannya adalah dua hal yang berbeda. Jika perbuatannya itu baik akan diterima dengan baik, tapi jika perbuatan itu jahat akan ditentang … Bencilah dosanya, tapi jangan orang yang berbuat dosa….” (1)
Saya marah karena si penabrak adalah orang Jawa yang lupa pada sebuah ungkapan yang mengandung falsafah tinggi yaitu Ojo Adigang Adigung Adiguna. Ungkapan tersebut memberi maksud agar apapun jabatan, pangkat yang tinggi maupun harta yang melimpah janganlah menjadikan kita menjadi sombong dan angkuh.
Adigang adalah ’kijang’ adigung ’gajah’ dan adiguna ’ular’ ketiganya mati bersama dalam pertikaian karena kesombongan masing-masing. (2)
Di situlah mungkin pelajaran yang saya dapatkan dari pengalaman ini yaitu melatih kesabaran dan komitmen ahimsa serta pelajaran untuk menahan diri dari sikap sombong dan angkuh. Karena sejatinya memang benar tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya.


Referensi :
1. Gandhi, M.K. (1958). Semua Manusia Bersaudara (Kustiniyati Mochtar). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia.
2. Budiyanto, Eko Wahyu. Pandhegan Aja "Adigang, Adigung, Adiguna, Sapa Sira Sapa Ingsun". (23 Februari 2013). Suara Merdeka Online diakses tanggal 25 September 2014 dari

Sumber gambar :

http://serbaserbiallartikel.blogspot.com/2013/05/kampanye-anti-kekerasan-anak-tanggung.html


“Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati –Bahasa Daerah Harus Diminati

*** Tulisan ini mendapat Juara 1 (Pertama) dalam Lomba GA Sadar Hati - Bahasa Daerah Harus Diminati https://belalangcerewet.com/2014/10/20/pemenang-kontes-sadar-hati/

6 komentar :

  1. pengalaman yg menarik kawan sebagai pembelajaran agar "ojo adigang-adigun-adiguno". moga menang bro.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih masbro, doanya dikabulkan berhasil dpt juara 1. :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Dan kita akan berusaha menyikapinya dengan menebar kebaikan dan mengamalkan ahimsa. :)

      Hapus
  3. Selamat Mas :) membaca tulisannya memang pantas nih jadi juara pertama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. :)

      mari terus berkarya dan membagi pengalaman dan pengetahuan kita. :)

      Hapus

Berikan komentar Anda untuk tulisan di atas...,