Kamis, 30 Januari 2014

Poin-Poin Penting "Janji Kebangsaan Kita"

JANJI KEBANGSAAN KITA


  • Judul                      :   Janji Kebangsaan Kita  
  • No. ISBN                :   9786021411100 
  • Penulis                   :   Anas Urbaningrum 
  • Penerbit                 :   Kepik 
  • Tanggal terbit        :   November - 2013 
  • Jumlah Halaman    :    264 
  • Jenis Cover           :    Soft Cover  
  • Kategori                :   Sosial-Politik 


Melihat profil para politisi kita memang tak akan ada habisnya. Karena citra yang cenderung negatif, karena media yang lebih suka memberitakan informasi negatif dari dampak The Art of Political War.

Istilahnya terjadi kesalahan dalam pendidikan politik (Political education) kepada masyarakat. Terlebih lagi hilangnya roh politik yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan bersama dengan cara bijak dan bermartabat.


Ada satu tokoh muda yang menarik perhatian saya. Terlepas dari "tuduhan politik" yang  dialamatkan kepadanya. Ada suatu rasa penasaran tentang ide, pola pikir maupun sense of politic dari tokoh ini.


Anas Urbaningrum namanya. Buku yang saya pegang berjudul "Janji Kebangsaan Kita" merupakan salah satu dari hasil tulisan karya-karya Bang Anas.


Buku yang berisi tulisan-tulisannya yang terpublikasi di media massa maupun yang belum terpublikasi ini cukup menarik.  Buku yang berisi kumpulan esai sosial-politik.


Berbagai sudut pandang mengenai topik Kebangsaan, Agama, Pancasila, Kerukunan Beragama, sampai Politik dan Demokrasi diuraikan di buku ini.


Dari tulisan-tulisan tersebut akan membuat pemikiran kita bertambah, baik segi ilmu maupun nilai-nilai sosial.


Bagi saya politisi muda ini memang luar biasa, sebagai salah satu pentolan tokoh reformasi dan pejuang dalam mengawal tujuan reformasi di republik ini.


Ada beberapa kutipan dari @Sahabat_Anas mengenai buku ini untuk dijadikan renungan oleh hati dan pikiran kita. Berikut ini kutipan-kutipannya: 

  • Demokrasi produktif adalah demokrasi yang mampu menyelesaikan masalah.
  • Meritokrasi adalah agenda terpenting dalam membangun budaya demokrasi.
  • Demokrasi yang produktif adalah memfokuskan diri pada pencapaian demokrasi itu sendiri, yaitu kesejahteraan rakyat.
  • Menjadi Indonesia bukanlah suatu yang terberi, tapi dipilih, dan kemudian diperjuangkan.
  • Tugas besar kita adalah menghidupkan kembali ruh Pancasila sebagai ideologi yg hidup dan ideologi yg bekerja.
  • Kita tak mungkin memutar kembali jarum jam ke belakang. Bangsa ini sudah berjanji, menjadi bangsa Indonesia dan tugas kita adalah merawat janji tersebut.
  • Tuntutan utama para pejuang Reformasi adalah demokrasi yang fokus utamanya adalah kebebasan.
  • Demokrasi adalah fitrah kehidupan politik, sehingga layak diperjuangkan dengan sekuat tenaga.
  • Pengertian demokrasi yg paling minimalis adalah adanya pergantian kekuasaan secara berkala melalui pemilu.

Dalam prakata buku tersebut ditutup dengan kutipan puisi dari penyair Taufiq Ismail yang dikaguminya :


Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini

Tak ada pilihan lain

Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur berarti hancur


(Taufiq Ismail, Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini, 1966)


Selamat membaca dan mengarungi sudut pandang unik dari seorang Anas Urbaningrum.

Saya termasuk salah seorang yang meyakini Anas belum titik, Anas akan melewati episode pertapaannya dengan baik dan makin matang. Anas akan titik, titik, titik dan … dengan halaman-halamannya berikutnya. Kita lihat saja. :-)

Salam Pergerakan,… 

Minggu, 26 Januari 2014

Resensi Buku : Jurus Dewa Mabuk ala Gus Dur

Judul                              : Jurus Dewa Mabuk ala Gus Dur
                                         Kumpulan Rekam Jejak KH                                                              Abdurrahman Wahid di Media Massa
Penyusun                      :    M. Rofiq Madji
Penerbit                        :    Pustaka Tebuireng
ISBN                              :    978-602-8805-12-4
Cetakan                        :    Januari 2012
Jumlah Halaman           :    xxii + 567 halaman
Peresensi                     :    Muhammad Kridaanto*

Merekam jejak tokoh yang satu ini memang sangat menarik. Dengan karakter yang kuat dan kadang sulit diprediksi banyak orang, tokoh ini mampu membuktikan bahwa tindakannya adalah tindakan nyata dalam membela kebenaran dan memperjuangkan hak-hak kaum minoritas.

KH Abdurrahman Wahid atau sering dipanggil Gus Dur memiliki sejarah sendiri. Dalam berbagai bidang beliau berkiprah. Selain dikenal sebagai Kiai, Ulama, Politikus, Budayawan bahkan beliau mampu menjadi penghibur dengan guyonan-guyonannya. Tak berlebihan jika banyak sekali buku-buku yang telah terbit dan menceritakan tentang beliau baik dari segi ilmu agama, politik, biografi, guyonan, bahkan pengalaman-pengalaman pribadi beliau.

Buku ini merupakan salah satu buku yang berusaha mengungkap sosok Gus Dur dari rekam jejaknya di berbagai media massa. Buku yang disusun oleh M. Rofiq Madji berasal dari kliping-kliping dari media massa yang memuat Gus Dur sejak tahun 1980-an.

Dari rentang waktu yang cukup panjang ini, pembaca akan mendapat gambaran situasi yang mendampingi gerak kehidupan Gus Dur.

Perilaku, sikap maupun pemikiran yang “unik” ini membuat pembaca bisa mengarungi pemikiran Gus Dur. Juga bagi yang berpikiran sinis terhadap sosok ini akan mendapat melihat sudut pandang lain.

Buku ini terdiri dari delapan bagian, terdiri dari tujuh bagian perjalanan hidup  Gus Dur dan satu bagian lampiran.   Yang memuat berbagai garis besar, baik hubungan Gus Dur dalam segi agama, NU (Nahdlatul Ulama), Politik, maupun dalam tataran kiprah Gus Dur di PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Buku ini menjadi referensi berharga bagi siapa saja yang ingin membaca jejak dari seorang kyai, politisi maupun budayawan yang memiliki bakat interdisiplineritas. Pemikiran Gus Dur yang kritis dan sering dianggap kontroversial karena ketidaktahuan dari latar belakang dari ucapan beliau. Kekritisan itu timbul karena perhatiannya terhadap ketidakadilan yang meraja lela.

Pengalaman beliau baik saat era orde baru,  perjuangan dalam era reformasi bahkan ketika menjadi presiden memang linier untuk membela keadilan. Sehingga sampai sekarang banyak orang yang sangat mengagumi baik pemikiran, anekdot, tulisan-tulisan maupun nasehat Gus Dur.

Maka tak berlebihan ketika tokoh ini menjadi Guru Bangsa dan teladan baik siapa saja, karena beliaupun juga memiliki sikap menghargai multikulturalisme. Hingga perjuangan beliau akan tetap dilanjutkan oleh para pengagum dan penerus-penerusnya.

* Salah satu Gusdurian (pengagum tokoh Gus Dur, dengan segala tingkah, pemikiran dan ilmunya)

Rabu, 01 Januari 2014

Pemimpin Berintegritas dan Humanis


Oleh : Muhammad Kridaanto *)

Krisis kepercayaan menimbulkan suatu masalah multidimensional yang memerlukan pertolongan segera agar tidak merebak menjadi permasalahan yang semrawut. Salah satu hal mendasar dalam memperbaiki persoalan yang ada adalah melalui sosok dan peran pemimpin yang mampu mengayomi dan memiliki integritas.

Dalam Islam sendiri sosok pemimpin diharapkan sebagai orang yang akan membawa pengikutnya menuju keridhoan Allah SWT. Kepemimpinan lebih menitikberatkan pada pemberian amanah. Dari amanah ini ada suatu tanggung jawab sosial.

Sosok pemimpin yang memiliki sifat, sikap dan perilakunya sangat agung adalah Nabi Muhammad SAW.  Selain Nabi sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin umat. Kepemimpinannya mampu menebarkan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam). 

Karakter dari Rasulullah yang memiliki sifat Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah adalah sifat yang luhur nan mulia. Melalui keempat sifat ini Nabi Muhammad menyebarkan ajaran Islam dengan penuh kesantunan dan menjadi seorang pemimpin yang tidak hanya dihormati pengikutnya bahkan oleh lawan-lawannya. Model pemimpin dalam Islam sendiri lebih ke arah pemimpin yang mampu membawa umat untuk mendekat kepada ridho Allah SWT.
Dalam kehidupan berbangsa, sosok presiden yang menjadi pemimpin sebuah negara adalah ujung tombak dari sosok kepemimpinan. Kedekatan antara umara’ dengan ulama sebagai sarana sang pemimpin bisa terus dibimbing dan dituntun, agar selalu dalam kebenaran dan bijaksana dalam kepemimpinannya.

Etika kepemimpinan ala Nabi pada zaman sekarang menjadi suri tauladan bagi munculnya pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan berdedikasi. Karena kepemimpinan Nabi adalah sumber profetik yang telah terpraktikkan sepanjang kehidupannya. Meneladani kepemimpinan yang menghubungkan tanggung jawab sosial dengan menjadikan jabatan sebagai amanah dari Allah SWT.

Di sinipun saya menggaris bawahi bahwa pemimpin harus mampu merangkul semua golongan maupun komunitas, sehingga tidak ada diskriminasi terhadap golongan minoritas.

Sosok pemimpin yang membuat saya kagum adalah sosok Gus Dur. Kepemimpinan beliau yang pluralis (merangkul semua), berani untuk turun ke bawah dan sederhana (wara') menjadikan beliau sebagai salah satu simbol kepemimpinan yang luar biasa. Bahkan saat menjabat beliau memperjuangkan hak dari kelompok minoritas untuk mendapat pengakuan sama dalam hukum. Bahkan Gus Dur mendapat gelar sebagai bapak Tionghoa Indonesia. Gus Dur memang sosok yang menjunjung tinggi kebersamaan tanpa membedakan-bedakan asal usul seseorang, warna kulit, bahasa, dan agama.Selain kemampuan politik dan ilmu agama, Gus Dur juga sosok yang memiliki sikap adil tanpa membeda-bedakan. 

Di akhir ini saya ingin mengutip dari Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang pernah berpesan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, maka setidaknya harus memiliki tiga kualitas. Yaitu Ilmul ‘Ulama (seorang yang berilmu layaknya seorang ulama’, sehingga memiliki pengaruh yang besar bagi orang-orang yang dipimpin), Hikmatul Hukama’ (seorang pemimpin harus bersikap adil & bijaksana dlm mengambil keputusan), dan Siyasatul Mulk (memiliki pengetahuan politik yang tinggi)

Hingga diharapkan kita memiliki keinginan untuk meneladani kepemimpinan Nabi dan sosok-sosok pemimpin humanis yang baik suluk (laku)nya.


*) Mahasiswa Jurusan Fisika 2010; Alumni Ketua IPNU Unnes, Aktivis Cultural Freedom

Revitalisasi Pendidikan Karakter

Revitalisasi Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Bangsa

Oleh : Muhammad Kridaanto*)

 Tulisan ini menjadi salah satu dari 29 naskah terseleksi yang diterbitkan dalam bentuk buku. Dalam kegiatan FESTIVAL NULIS KRITIS 2013 yang diadakan oleh BEM FIP Unnes dengan tema : Menggagas Pendidikan Berkarakter Indonesia




Kita telah memahami dunia Pendidikan di Indonesia yang masih terus berproses dalam menemukan jati dirinya. Yang sedang menjadi perbincangan adalah mengenai kurikulum pendidikan 2013. Sebagai sebuah bangsa yang besar memang bukan hal mudah dalam menentukan formula yang sama dalam proses pengembangan sistem pendidikan yang meramu setiap potensi peserta didik. Di samping belum meratanya infrastuktur pendidikan di beberapa wilayah di Indonesia, juga dipengaruhi oleh penyebaran pendidik di setiap daerah.

Fokus dunia pendidikan yang lebih mengarah ke aspek afektif patut dijadikan semangat baru dalam memahami peserta didik dan melihat pendidikan dengan lebih komprehensif. Dengan definisi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Menurut UU No. 20 tahun 2003). Maka sudah sepatutnya dasar ini dijadikan sebagai pengembangan atas konsep pendidikan di Indonesia.

Kurikulum 2013 digagas sebagai upaya untuk menyiapkan kompetensi peserta didik dalam menyiapkan era globalisasi. Kurikulum ini juga dianggap sebagai kurikulum yang akan menyiapkan kompetensi dari para anak didik untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan kompetensi dengan peningkatan kompetensi Teknologi Informasi yang terintegrasi di setiap mata pelajaran dan pemberian porsi lebih di beberapa bidang mata pelajaran berbasis pembentukan karakter peserta didik.

Walaupun penerapannya masih dalam tahap uji coba setidaknya kita memiliki gambaran tentang pendidikan nasional menurut pemerintah.


Tujuh Jurus Memupuk Pendidikan Karakter

Di sini saya ingin memberikan pendapat saya mengenai beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh segenap pemangku kepentingan di dunia pendidikan Indonesia, baik itu pemerintah, pendidik, anak didik, pihak swasta maupun pihak lain untuk dapat dijadikan masukan maupun khasanah ilmu bagi perbaikan pendidikan berbasis karakter di Indonesia.

Yang pertama dilakukan adalah pemerataan kualitas pendidik atau guru di setiap daerah. Pemerataan ini bukan hanya dilakukan dengan menyebar pendidik di pulau jawa untuk mengajar di wilayah lain di Indonesia tetapi lebih kepada bagaimana potensi putra daerah dapat diberdayakan secara maksimal. Peningkatan kualitas putra daerah tentu akan membuat pemerataan ini lebih bersifat kekeluargaan dan tidak ada sifat “iri” karena adanya perbedaan pandangan terhadap kualitas pendidik di berbagai wilayah yang ada. Bagaimana cara agar kualitas pendidik di setiap daerah menjadi setara? Tentu dengan pemberian kesempatan dari pemerintah daerah khususnya Dinas Pendidikan di tingkatan provinsi dan kabupaten, karena yang akan mengetahui medan dari pendidikan di sebuah daerah tentu lebih dikenali oleh “pemilik” daerah tersebut. Dari sini pendidikan karakter akan lebih menunjukkan progres dengan adanya pemahaman dari kondisi daerah.

Kedua, melakukan evaluasi terhadap pemerataan akses informasi di setiap daerah. Akses informasi yang dimaksud adalah buku pelajaran, akses internet, maupun alat peraga pelajaran. Informasi menjadi keniscayaan yang penting bagi majunya dunia pendidikan sekaligus sebagai bumerang kalau tidak diantisipasi dengan baik. Seorang pendidik diharapkan memiliki akses informasi yang luas mengenai dunia luar agar tidak kalah dengan anak didiknya. Ketika mengoperasikan internet saja belum mahir tentu akan kalah dengan anak didik yang sudah mahir berinternet ria. Di sinilah PR besar bagi akses informasi yang harus dimiliki seorang pendidik agar selalu bisa mengikuti perkembangan zaman, sekaligus dapat mengontrol peserta didik agar selalu berada dalam nilai dan norma yang ada di masyarakat.

Ketiga, infrastruktur yang lebih ramah terhadap perkembangan karakter peserta didik. Seringkali sekolah menjadi sebuah tempat “penyiksaan” bagi kreativitas peserta didik. Padahal pengekangan  kreativitas ini akan menimbulkan berbagai sifat dan perilaku yang negatif. Coba bandingkan antara sekolah formal di bangku SD, SMP, SMA dengan bangku TK. Dari segi infrastuktur, sekolah TK lebih ramah terhadap perkembangan peserta didik. Tempat permainan bersama menjadi tempat untuk bersosialisasi. Tembok yang memiliki gambar-gambar yang unik dan pemberian pesan-pesan moral di dalamnya. Bandingkan dengan di bangku SD, SMP dan SMA yang cenderung datar. Ruang berekspresi maupun pemberian pesan-pesan moral menjadi dilupakan. Sekolah seperti tempat yang cenderung kaku dan ditambah lagi bayang-bayang pelajaran yang sulit.

Keempat, masalah porsi pelajaran. Sering ketika kita menanyakan kepada seorang peserta didik, apa yang didapatkan dari bangku sekolah? Maka tidak asing kita mendengar kata “ilmu” yang berupa hafalan, tugas yang menumpuk, Ulangan yang mengharuskan peserta didik untuk menggunakan sistem SKS (sistem kebut semalam) atau ketakutan akan Ujian Nasional. Berbagai tuntutan yang dialamatkan kepada seorang peserta didik akan membuat suasana pembelajaran menjadi kaku. Peserta didik yang memiliki motivasi untuk belajar sambil bermain atau belajar sambil mengembangkan bakat menjadi kehilangan wadahnya. Peserta didik yang memiliki keahlian di bidang seni maupun olahraga menjadi seorang peserta didik yang dianggap kalah (dalam hal akademik). Sedangkan peserta didik yang pandai secara akademik cenderung kurang bisa memacu keterampilan khusus. Bakat-bakat muda menjadi tidak berkembang bahkan hilang.

Di sinilah perlunya menggelorakan kembali kegiatan ekstra kurikuler yang beragam dan memiliki daya tarik bagi peserta didik. Kegiatan ekstra kurikuler menjadi sebuah pilihan positif bagi perkembangan bakat dan minat peserta didik sekaligus menjadi ajang untuk melatih mental atau karakter. Sekolah yang didesain untuk menumbuhkan bakat dan minat seorang peserta didik membuat tempat berekspresi mereka menjadi lebih banyak. Bukankah setiap anak memiliki berbeda dan memiliki bakat masing-masing? Dan sudah tidak sepatutnya kita mengekang dengan banyaknya pelajaran yang istilahnya hanya untuk sekedar mengisi raport peserta didik dan menjadi angin lalu ketika sudah selesai ujian.

Kelima, menggelorakan kembali kultur daerah sebagai penopang karakter peserta didik. Dengan keberagaman yang ada di setiap daerah adalah tantangan bagi pendidikan di Indonesia. Kita tak akan bisa memiliki sistem pendidikan yang baik, kalau kita tidak memahami budaya yang ada di negara kita. Kita boleh melihat sistem pendidikan negara lain seperti Finlandia maupun Amerika Serikat dengan sistem pendidikan yang ada. Tetapi kita tidak boleh melupakan tempat sistem itu diaplikasikan. Kita tahu beragam kultur daerah masih melekat di masyarakat. Budaya atau kultur ini bisa dijadikan suatu sistem yang bersifat mandiri dalam meramu pendidikan di setiap daerah. Budaya yang dimaksud  adalah bahasa daerah maupun tradisi yang ada. Melalui budaya tersebut tentu memuat di dalamnya nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Mungkin saja budaya setiap daerah berbeda bahkan bertolak belakang, tapi dari sistem pendidikan yang berbasis budaya daerah akan mampu menciptakan perspektif baru bagi dunia pendidikan yang tidak melupakan kekayaan budaya daerah sekaligus sebagai penopang bagi penanaman nilai dan norma yang akan membentuk karakter peserta didik.

Keenam, dengan penanaman nilai-nilai agama. Nilai agama menjadi sebuah subjek yang fundamental terhadap ramuan dari sistem pendidikan di Indonesia. Dengan enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia tentu harus diberikan porsi secara tepat. Seorang peserta didik harus dibekali nilai-nilai agama sesuai dengan apa yang dianutnya. Jadi nilai-nilai agama ini akan menjadi sebuah koridor perjalanan spiritual dari perkembangan peserta didik.

Ketujuh, semangat Nasionalisme atau cinta tanah air. Di subjek yang terakhir ini menjadi hal yang harus disadari secara bersama yaitu penanaman nasionalisme kepada para peserta didik. Lewat jiwa nasionalisme ini akan muncul patriotisme. Dari sinilah akan timbul semangat untuk memajukan bangsa dan kerelaan untuk berkorban demi bangsa. Dari penanaman nasionalisme di dunia pendidikan tentu akan lebih memperkuat semangat untuk berbuat dan berkarya dalam memajukan negara. Sehingga diharapkan akan ada kesadaran dari peserta didik sebagai generasi muda agar mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Sehingga menjadi harapan bersama kita tak akan mendengar perbuatan korupsi yang dilakukan secara sistematis dan berkelompok, tetapi dapat mendengar putra-putra bangsa secara berkelompok maupun individu saling berlomba dan menciptakan kreasi di kancah Internasional maupun nasional dengan semangat mengharumkan nama bangsa.

Dari ketujuh hal yang menjadi pertimbangan saya terhadap dunia pendidikan ini tentu dapat dijadikan tambahan dalam dunia pendidikan kita. Sebagai salah satu unsur pendidikan tentu berharap bahwa pendidikan bukan hanya dijadikan sebagai sebuah media untuk membuat seorang manusia menjadi robot ataupun hanya berfungsi sebagai mesin fotokopi, tetapi pendidikan yang tidak kehilangan identitas nasional maupun identitas budaya, sehingga peserta didik dapat menjadi manusia yang berproses secara utuh, yang menyemai semangat dan menularkan gagasan-gagasannya serta tentu saja tetap memiliki jiwa nasionalisme dan bangga dengan budaya daerahnya.

Akhirnya saya tutup opini saya dengan sebuah kalimat "Without knowing the force of words, it is impossible to know human beings" (Konfusius).


*) Mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2010

Mengingat Mata Air Pahlawan

Oleh : Muhammad Kridaanto *)

Tulisan ini saya tulis dan kirimkan kepada rekan-rekanita IPNU-IPPNU di Mranggen. Semangat slalu rekan-rekanita dan salam Belajar-Berjuang-Bertaqwa. Terima kasih kpd Gus Mus atas inspirasi dan tulisan serta renungannya untuk orang-orang yg haus akan petuah dan nasehatmu.



Saya teringat sebuah buku yang berjudul Mencari Bening Mata Air karya A. Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus. Buku yang memiliki karakter kuat dalam kerangka melihat fenomena sosial yang syarat dengan nilai-nilai humanisme dan spiritual.

Memang menjadi buah bibir setiap karya yang dibuat oleh beliau, mulai dari buku, cerpen, puisi maupun karya sastra lainnya.

Sebagai bagian dari upaya mengalirkan “Mata Air” nilai-nilai sosial dan penyadaran di masyarakat, dari para pemimpin sampai dengan rakyat jelata itulah gambaran karya yang dibuat oleh sosok ini.

Di sini saya bukan ingin membahas buku tersebut secara detail, tetapi menjadikan buku tersebut sebagai pijakan terhadap peringatan Hari Pahlawan yang baru saja kita peringati tanggal 10 November kemarin.

Hari Pahlawan adalah hari untuk memperingati Pertempuran di Surabaya yang terjadi tanggal 10 November 1945 antara pasukan nasionalis Indonesia dengan Sekutu, yang merupakan konflik bersenjata skala besar pertama antara Indonesia dan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam peristiwa tersebut Bung Tomo, salah satu orator yang paling dihormati berhasil membakar semangat pemuda untuk melawan penjajah. Dengan didukung oleh fatwa Resolusi Jihad dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan agar umat Islam melakukan jihad fi sabilillah atau perang di jalan Allah untuk mengusir penjajah yang ingin menguasai sebuah “darus salam” yang baru saja diproklamirkan.

Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.


Meneladani Perjuangan Pahlawan
Walaupun sejarah telah berlalu tak seharusnya kita melewatkannya tanpa melihat pelajaran dari peristiwa yang berlalu. Bagaimanapun perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa memberikan gambaran kepada kita akan arti perjuangan.

Ketika Bung Karno berkata dengan lantang “Jas Merah! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Itu merupakan sebuah sinyal bagi kita agar melihat masa lampau sebagai pelajaran untuk melihat masa depan. Ada dimensi pertalian yang tidak boleh dilupakan.

Nilai pengorbanan para pahlawan adalah suatu sikap rela berkorban yang sangat luar biasa. Demi merebut kemerdekaan dan menyatukan tekad bersatu dalam melindungi keutuhan bangsa, para pahlawan rela mengorbankan harta benda bahkan  nyawa sebagai taruhannya. Semangat untuk meraih kemerdekaan menjadi landasan pokok.

Ketika membicarakan mengenai peran para pahlawan maka saya berpendapat Air mata para pahlawan adalah mata air kesejukan untuk bumi pertiwi. Darah dan keringat yang mengucur adalah bukti kecintaan terhadap bangsa ini.

Dengan usia kemerdekaan yang sudah cukup lama, belum terlihat kemerdekaan itu benar-benar direbut dengan tuntas. Masih banyak orang-orang bermental inlander yang membuat cita-cita kemerdekaan semakin jauh dari penerapannya. Negara kita adalah negeri yang kaya raya. Kekayaan alamnya luar biasa. Lautnya sangat luas. Keanekaragamannya luar biasa banyak dan Sumber Daya manusia juga melimpah.

Tinggal potensi ini dapat diolah dan mengalir dari “Mata Air” patriotisme para pahlawan ke dalam jiwa-jiwa kita. Meneruskan kembali semangat kemerdekaan dengan berkiprah sesuai dengan tempat dan bidang kita. Sambil tetap mendoakan semoga Bumi pertiwi segera kembali tersenyum.

Apabila Mata Air itu telah mengalir kembali dengan deras, maka air mata yang turun dari sebagian saudara-saudara kita akan berhenti. Mata air yang bercirikan : Mencintai negara dan bangsa sebagai bagian dari hidup, tidak tahan melihat penderitaan saudaranya, saling mengasihi dan bekerja sama  serta bermusyawarah dengan saudaranya, dan memohon ampun kesalahan saudaranya, saling mengingatkan dan mempercayai saudaranya serta tetap mau belajar-berjuang-bertaqwa untuk selanjutnya bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala usaha yang dilakukan.

Terakhir saya ingin mengutip kata-kata Soekarno sang proklamator: “Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan “Bangsa jang pandir” seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi “Inlander goblok hanja baik untuk diludahi” seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjalan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial dimasa jang silam.”

Masihkah semangat itu ada dan Mata Air perjuangan itu mengalir untuk menghapus air mata yang menetes?


*) Ketua IPNU Unnes 2012-2013, sekarang aktif di PW IPNU Jawa Tengah

Reaktualisasi Sumpah Pemuda

Oleh : Muhammad Kridaanto*)

Masalah yang menimpa bangsa ini seperti tak ada habisnya. Setelah berbagai kasus korupsi yang menyeret para pemangku kebijakan, mulai dari anggota DPR, politisi partai dan pejabat daerah, perilaku korupsi juga menyapa kalangan akademisi. Bahkan yang lebih menggemparkan ketua Mahkamah Konstitusi turut tertangkap tangan dalam sebuah “drama penyelamatan bumi pertiwi” oleh KPK.

Semangat reformasi yang menjadi ruh perjuangan pemberantasan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) seakan tinggal kenangan. Mengutip kata-kata Umar Said (Mantan pengurus PWI Pusat), “Sekarang ini reformasi berbagai bidang sudah macet tidak hanya bisa dilihat di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah.”


Spirit Sumpah Pemuda

Ketika para pemuda bergerak maka itu artinya masih ada harapan yang muncul. Melihat realita kehidupan bernegara sekarang memerlukan upaya serius untuk terbangun dari mimpi buruk ini.

Tanggal 28 Oktober yang akan kita peringati sebagai hari sumpah pemuda memiliki sebuah spirit kebangkitan bagi seluruh elemen bangsa sebagai manifestasi peranan para pemuda pada zaman sebelum kemerdekaan. Keresahan para pemuda dengan penindasan yang dilakukan oleh penjajah mampu menjadi pendorong untuk menyatukan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat Indonesia. Sehingga sebuah kongres pemuda yang terjadi tanggal  28 Oktober 1928 melahirkan kesepakatan bersama dan ikrar persatuan yang termuat dalam naskah sumpah pemuda.

Peristiwa sumpah pemuda merupakan titik kulminasi dari apa yang menjadi realita di mata para pemuda. Sehingga semangat untuk bersatu dan melakukan perlawanan menjadi perjuangan bersama.

Dari peristiwa itulah kita dapat mengambil pelajaran untuk berusaha menggalang kembali semangat persatuan dan menyatukan sebuah ikatan ke-Indonesia-an yang telah lama tercerai berai. Unsur pemuda sebagai agent of change dan iron stock memberikan suatu tanggung jawab moral maupun sosial yang besar. Perubahan yang menjadi dasar dari semangat seorang pemuda harus memiliki tujuan yang jelas dan tekad yang kuat serta memerlukan evaluasi secara besar dan kontinyu terhadap diri sendiri atas kontribusi yang dilakukan terhadap lingkungan sekitarnya.

Peran pemuda dalam mengawal kepemimpinan masa mendatang juga akan dipengaruhi dari keyakinan dan “nutrisi-nutrisi” yang diserapnya hari ini. Estafet kepemimpinan masa depan harus dipersiapkan lebih matang dan bijak.

Apalagi di dunia kampus, para pemuda memiliki kemampuan intelektual dan akses informasi yang lebih luas. Dari sebuah momentum Sumpah Pemuda ini diharapkan bukan hanya menjadi rutinitas belaka untuk dilewatkan, tetapi menjadi momentum dalam rangka memberikan spirit bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pada upacara peringatan sumpah pemuda tahun lalu, Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang sering dijadikan sebagai potret kepemimpinan yang ideal mengatakan bahwa Pemuda harus sadar bahwa mereka itu masa depan bangsa ini. Pemuda harus memiliki satu visi, satu ide, dan satu gagasan.

Dari sinilah kompleksitas masalah dan peranan pemuda ditunggu untuk dapat diaktualisasikan. Dari sebuah harapan menjadi sebuah kenyataan. Dari mimpi buruk menjadi realita yang membahagiakan. Sebelum terlambat, mari kembali mengingat semangat sumpah pemuda. Mengaktualisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan meneruskan cita-cita reformasi yang sempat tertunda.


*) Mahasiswa semester VII Jurusan Fisika Unnes dan Ketua IPNU Komisariat Unnes

Dimuat di Buletin Mingguan Mahasiswa EXPRESS Unnes tanggal 7 November 2013

Generasi Pancasilais, Mungkinkah?

Oleh : Muhammad Kridaanto *)

DI tengah-tengah berbagai masalah di negeri ini, kian terasa perlunya wacana yang gencar untuk tidak hanya berhenti dengan memperingati (Hari Kesaktian) Pancasila, tetapi lebih dari itu ajakan untuk mempelajari dan mengamalkannya. Selain sebagai falsafah dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila memiliki kekuatan sebagai alat pemersatu bangsa sekaligus sebagai komponen dalam membentuk nation and character building.

Rasanya telah lama kita hanya mengingat sila-sila tanpa memaknai, apalagi mengetahui poin-poin pengamalan Pancasila dan penjabarannya. Sementara pada saat yang bersamaan, setiap hari kita disuguhi berita mengenai mahalnya harga bahan kebutuhan pokok, korupsi, dan aneka tindak kriminal. Seakan-akan kita telah kehilangan garis pijakan dan rasa kebersamaan sebagai sebuah bangsa.


Dari yang Muda

Upaya untuk membangkitkan kesadaran bersama dalam rangka membangun negara ini harus segera dilakukan. Perlu penanaman identitas dan nilai luhur bangsa, khususnya kepada generasi muda dan masyarakat pada umumnya sehingga tumbuh kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam sebuah bangsa.


Di sinilah makna strategis dunia pendidikan dan potensi generasi muda sebagai pembawa angin perubahan sekaligus modal untuk mengenalkan kembali nilai-nilai moral Pancasila. Dengan jumlah generasi muda yang cukup banyak, upaya dalam menanamkan nilai-nilai luhur bangsa dalam rengkuhan Pancasila pun harus segera dilakukan.

Pemberian pesan moral dengan memasang iklan/reklame kecil di tempat-tempat umum yang berisi nilai-nilai Pancasila untuk mengingatkan dan memasyarakatkan Pancasila agar masyarakat mengingat dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut merupakan salah satu contohnya. Selain itu, memasukkan nilai-nilai moral Pancasila, seperti kejujuran, tanggung jawab, tenggang rasa, dan menjunjung persatuan dalam dunia kampus. Dengan begitu, diharapkan generasi muda memiliki kepercayaan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu bagi bangsa sekaligus pendorong kemajuan bangsa.


Potensi Kampus

Kultur yang berkembang di kampus Universitas Negeri Semarang meupakan setting yang potensial untuk menggalakkan iklan-iklan masyarakat mengenai nilai-nilai Pancasila. Namun iklan ini tentu tidak ada artinya apabila tidak dibarengi dengan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari.

Dunia kampus memiliki potensi ini, termasuk Unnes yang saya yakin kelak akan melahirkan lulusan yang berkualitas. Berkualitas bukan hanya menguasai pengetahuan/keterampilan saja, melainkan juga mampu memberikan kontribusi secara nyata dengan membangun lingkungan sekitar dengan bersendikan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, kita akan mendapati pemuda yang tidak hanya pandai dalam bidang ilmunya saja tetapi juga memiliki jiwa pancasilais yang mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya dan menjunjung persatuan di atas segalanya.

Saya teringat kata-kata Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Karena itu, saya yakin, semangat kebersamaan dan kesadaran untuk saling mendukung akan menambah amunisi bagi terwujudnya cita-cita bersama, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

–Muhammad Kridaanto, mahasiswa semester VII Jurusan Fisika FMIPA Unnes dan Ketua IPNU Komisariat Unnes

diterbitkan tanggal  9 Oktober 2013

Politik Tingkat Tinggi Ala Mahasiswa

Oleh : Muhammad Kridaanto*)

Mendengar kata politik, kebanyakan  orang  akan membayangkan  bahwa  di  sana hanya  bermuara  pada upaya perebutan kekuasaan dan  intrik-intrik yang menghalalkan segala cara.  Adanya  Badan  Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun Dewan  Perwakilan  Mahasiswa (DPM)  adalah  organisasi yang identik  dengan  dunia  politik kampus di kalangan mahasiswa. 

Di  organisasi  tersebut  biasanya memiliki suatu “magnet” karena memiliki  karakteristik  yang berbeda dari organisasi kemaha-siswaan lain yang berkecimpung di dunia  bakat-minat,  penelitian maupun pengabdian masyarakat. Walaupun  politik  sering  dikait-kan dengan jalan atau cara untuk meraih  kekuasaan  maupun kedudukan,  tetapi  perlu  adanya suatu penyegaran  wacana  di kalangan  mahasiswa  sebagai elemen pemuda yang tidak akan terpisah dengan dunia politik. 

Mungkin  kita  pernah  mendengar ungkapan  “kampus  adalah  miniatur  sebuah  negara,” dengan BEM  sebagai lembaga yang bergerak di bidang eksekutif dan  DPM  bergerak  di  bidang legislatif. Saya  masih  teringat ketika mengikuti organisasi BEM, suasana  yang  beraroma  politik akan tercium lebih tajam, berbeda ketika mengikuti organisasi bakat minat  atau  organisasi  yang  bergerak  di bidang  pengabdian masyarakat.

Politik  dalam  pandangan saya  lebih ke  arah proses dalam mencapai  tujuan bersama dalam strategi dan  tindakan yang matang.  Dalam  upaya  tersebut kita  lebih menuju usaha  “mengarahkan” pandangan orang  tentang cita-cita maupun  tujuan  kita  agar dapat  diperjuangkan  secara  bersama. Istilahnya  dari   sebuah masalah-masalah  yang muncul, perlu ada  inovasi dan kreatifitas baru sehingga  ide yang muncul  itu menjadi kesadaran bersama yang akhirnya menjadi  tanggung jawab untuk memberi warna  baru  dalam meng-hadapi masalah secara bersama.

Perjalanan  politik  mahasiswa tentu berbeda dengan politik praktis di  masyarakat.  Potret  kampus sebagai tempat belajar dalam kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara tidak harus membuat politik yang dibangun sama dengan politik praktis. Politik  mahasiswa  lebih  dibarengi dengan  idealisme  dan etika  politik yang  dijunjung  tinggi.  Etika politik ini menjaga agar tahap pembelajaran dalam  berpolitik seorang mahasiswa  tidak hanya bermuara pada tercapainya kekuasaan,  tetapi  lebih ke arah  tujuan, ide  dan  cita-cita  yang akan  dilakukan  ketika meraih kekuasaan.

Kecenderungan  politik  hanya dijadikan  komoditas  dalam meraih tujuan  kelompok  atau golongan harus dihindarkan.  Yang  akhirnya dapat membuat  tujuan  awal mengawal  kebersamaan menjadi  hilang, hingga akhirnya apatisme  terhadap tujuan  bersama  semakin  tinggi. Apatisme ini pula yang terjadi ketika dilakukan  Pemilihan  umum di lingkungan  kampus,  ketidakikutsertaan  dalam menggunakan  hak politik  seorang  mahasiswa  sering terjadi. Upaya  meraih  kedudukan dan kekuasaan  dengan menggunakan  isu yang berbau   SARA  (Suku, Agama,  Ras dan Antar golongan) perlu diminmalisir bahkan dihilangkan. 

Pencerdasan politik dan karakteristik politik kampus harus mampu  menjadi  warna  yang berbeda. Karena dari kampus akan lahir para punggawa  masa  depan  bangsa. Kalau sudah dimulai dengan politik yang baik, dan menjadikan kehidupan bernegara dalam  tataran kam-pus ini dirasakan manfaatnya, tentu sosok aktivis  ini akan memiliki daya tarik di masyarakat kelak.

Etika berpolitik harus ditanamkan  kepada  para  aktivis  kampus khususnya yang bergelut di politik kampus  dan mahasiswa  pada umumnya, sehingga ada kesadaran untuk  tidak menggunakan politik Machiavelli  yang menghalalkan segala cara.

Karena  mahasiswa  memiliki jiwa  idealisme yang menggunakan politik dengan memperhatikan etika, moral dan norma. Saya teringat kata-kata  Tan  Malaka,  salah  satu Tokoh Bangsa  ini   “Idealisme adalah  kemewahan  terakhir yang hanya  dimiliki  oleh  pemuda.” Mungkin  benar  adanya  kalau kita melihat politik dalam negara yang sering kehilangan  ruh  idealisme, maka jangan sampai ruh idealisme dalam  politik  mahasiswa  hilang, yang terus menjunjung politik yang santun dan beretika.

*) Mahasiswa Fisika Unnes; Ketua IPNU Unnes 2012-2013

Dimuat di Buletin Mingguan Mahasiswa EXPRESS Unnes tanggal 26 September 2013

Dunia kampus dan Tri Dharma Perguruan Tinggi

Oleh : Muhammad Kridaanto, Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Ketua IPNU UNNES



Perjuangan selama berabad-abad menuju kemandirian dalam mengatur negaranya sendiri menjadi modal awal merebut kemerdekaan Indonesia. Perjalanan yang panjang bertemu di sebuah titik inti dengan mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Melalui modal inilah segenap elemen bangsa berusaha mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu elemen penting yang menjadi cikal bakal pergerakan itu adalah para pemuda. Pemuda yang memiliki keberanian dan proses kematangan menuju kedewasaan memiliki naluri perjuangan dan kebebasan yang lebih luas. Apalagi jika ditambah dengan pendidikan yang dimiliki akan menambah amunisi tersendiri bagi para pemuda.

Di tingkatan pendidikan tertinggi, dunia kampus dan elemen yang berada di dalamnya memiliki suatu tanggung jawab moral dalam membangun kesepahaman dan peningkatkan kapasitas dari peranan perguruan tinggi dalam membangun insan cendekia di Indonesia.

Dalam dunia kampus didasari dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tanggung jawab inilah yang memberi garis haluan bagi berkembangnya peranan mahasiswa dalam mengisi kemerdekaan.

Kita tak akan lupa dengan gagasan-gagasan baru dan kreatifitas dari cendekiawan-cendekiawan muda ini. Atmosfer kampus yang mampu memberikan ruang untuk mengeksplorasi kemampuan mahasiswa tentu akan menambah nilai dari peran pendidikan. Ditambah lagi pendidikan merupakan pintu terbesar bagi penanaman karakter bangsa yang berkepribadian di tengah krisis karakter luhur bangsa yang semakin terpinggirkan.

Melalui pendidikan dan peran pemuda di perguruan tinggi dapat dijadikan wilayah strategis dalam memandang masa depan bangsa. Perguruan Tinggi menjadi contoh dari pengaturan secara sistemis harus tetap diutamakan sebagai ruang pemasakan yang bersifat tekstual-aplikatif, sehingga perguruan tinggi dapat menjadi simbol dari pembentukan sikap moral dan etika yang baik. Dan pada akhirnya mampu mencetak para generasi penerus yang baik, cerdas dan bermoral. Peran sekarang adalah bagaimana agar mahasiswa mampu mentransformasikan garis perjuangan melalui Tri Dharma Perguruan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Opini di Koran Muria Sabtu 21 September 2013