Rabu, 01 Januari 2014

Mengingat Mata Air Pahlawan

Oleh : Muhammad Kridaanto *)

Tulisan ini saya tulis dan kirimkan kepada rekan-rekanita IPNU-IPPNU di Mranggen. Semangat slalu rekan-rekanita dan salam Belajar-Berjuang-Bertaqwa. Terima kasih kpd Gus Mus atas inspirasi dan tulisan serta renungannya untuk orang-orang yg haus akan petuah dan nasehatmu.



Saya teringat sebuah buku yang berjudul Mencari Bening Mata Air karya A. Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus. Buku yang memiliki karakter kuat dalam kerangka melihat fenomena sosial yang syarat dengan nilai-nilai humanisme dan spiritual.

Memang menjadi buah bibir setiap karya yang dibuat oleh beliau, mulai dari buku, cerpen, puisi maupun karya sastra lainnya.

Sebagai bagian dari upaya mengalirkan “Mata Air” nilai-nilai sosial dan penyadaran di masyarakat, dari para pemimpin sampai dengan rakyat jelata itulah gambaran karya yang dibuat oleh sosok ini.

Di sini saya bukan ingin membahas buku tersebut secara detail, tetapi menjadikan buku tersebut sebagai pijakan terhadap peringatan Hari Pahlawan yang baru saja kita peringati tanggal 10 November kemarin.

Hari Pahlawan adalah hari untuk memperingati Pertempuran di Surabaya yang terjadi tanggal 10 November 1945 antara pasukan nasionalis Indonesia dengan Sekutu, yang merupakan konflik bersenjata skala besar pertama antara Indonesia dan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam peristiwa tersebut Bung Tomo, salah satu orator yang paling dihormati berhasil membakar semangat pemuda untuk melawan penjajah. Dengan didukung oleh fatwa Resolusi Jihad dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan agar umat Islam melakukan jihad fi sabilillah atau perang di jalan Allah untuk mengusir penjajah yang ingin menguasai sebuah “darus salam” yang baru saja diproklamirkan.

Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.


Meneladani Perjuangan Pahlawan
Walaupun sejarah telah berlalu tak seharusnya kita melewatkannya tanpa melihat pelajaran dari peristiwa yang berlalu. Bagaimanapun perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa memberikan gambaran kepada kita akan arti perjuangan.

Ketika Bung Karno berkata dengan lantang “Jas Merah! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Itu merupakan sebuah sinyal bagi kita agar melihat masa lampau sebagai pelajaran untuk melihat masa depan. Ada dimensi pertalian yang tidak boleh dilupakan.

Nilai pengorbanan para pahlawan adalah suatu sikap rela berkorban yang sangat luar biasa. Demi merebut kemerdekaan dan menyatukan tekad bersatu dalam melindungi keutuhan bangsa, para pahlawan rela mengorbankan harta benda bahkan  nyawa sebagai taruhannya. Semangat untuk meraih kemerdekaan menjadi landasan pokok.

Ketika membicarakan mengenai peran para pahlawan maka saya berpendapat Air mata para pahlawan adalah mata air kesejukan untuk bumi pertiwi. Darah dan keringat yang mengucur adalah bukti kecintaan terhadap bangsa ini.

Dengan usia kemerdekaan yang sudah cukup lama, belum terlihat kemerdekaan itu benar-benar direbut dengan tuntas. Masih banyak orang-orang bermental inlander yang membuat cita-cita kemerdekaan semakin jauh dari penerapannya. Negara kita adalah negeri yang kaya raya. Kekayaan alamnya luar biasa. Lautnya sangat luas. Keanekaragamannya luar biasa banyak dan Sumber Daya manusia juga melimpah.

Tinggal potensi ini dapat diolah dan mengalir dari “Mata Air” patriotisme para pahlawan ke dalam jiwa-jiwa kita. Meneruskan kembali semangat kemerdekaan dengan berkiprah sesuai dengan tempat dan bidang kita. Sambil tetap mendoakan semoga Bumi pertiwi segera kembali tersenyum.

Apabila Mata Air itu telah mengalir kembali dengan deras, maka air mata yang turun dari sebagian saudara-saudara kita akan berhenti. Mata air yang bercirikan : Mencintai negara dan bangsa sebagai bagian dari hidup, tidak tahan melihat penderitaan saudaranya, saling mengasihi dan bekerja sama  serta bermusyawarah dengan saudaranya, dan memohon ampun kesalahan saudaranya, saling mengingatkan dan mempercayai saudaranya serta tetap mau belajar-berjuang-bertaqwa untuk selanjutnya bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala usaha yang dilakukan.

Terakhir saya ingin mengutip kata-kata Soekarno sang proklamator: “Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan “Bangsa jang pandir” seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi “Inlander goblok hanja baik untuk diludahi” seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjalan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial dimasa jang silam.”

Masihkah semangat itu ada dan Mata Air perjuangan itu mengalir untuk menghapus air mata yang menetes?


*) Ketua IPNU Unnes 2012-2013, sekarang aktif di PW IPNU Jawa Tengah

0 komentar :

Posting Komentar

Berikan komentar Anda untuk tulisan di atas...,