Rabu, 01 Januari 2014

Revitalisasi Pendidikan Karakter

Revitalisasi Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Bangsa

Oleh : Muhammad Kridaanto*)

 Tulisan ini menjadi salah satu dari 29 naskah terseleksi yang diterbitkan dalam bentuk buku. Dalam kegiatan FESTIVAL NULIS KRITIS 2013 yang diadakan oleh BEM FIP Unnes dengan tema : Menggagas Pendidikan Berkarakter Indonesia




Kita telah memahami dunia Pendidikan di Indonesia yang masih terus berproses dalam menemukan jati dirinya. Yang sedang menjadi perbincangan adalah mengenai kurikulum pendidikan 2013. Sebagai sebuah bangsa yang besar memang bukan hal mudah dalam menentukan formula yang sama dalam proses pengembangan sistem pendidikan yang meramu setiap potensi peserta didik. Di samping belum meratanya infrastuktur pendidikan di beberapa wilayah di Indonesia, juga dipengaruhi oleh penyebaran pendidik di setiap daerah.

Fokus dunia pendidikan yang lebih mengarah ke aspek afektif patut dijadikan semangat baru dalam memahami peserta didik dan melihat pendidikan dengan lebih komprehensif. Dengan definisi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Menurut UU No. 20 tahun 2003). Maka sudah sepatutnya dasar ini dijadikan sebagai pengembangan atas konsep pendidikan di Indonesia.

Kurikulum 2013 digagas sebagai upaya untuk menyiapkan kompetensi peserta didik dalam menyiapkan era globalisasi. Kurikulum ini juga dianggap sebagai kurikulum yang akan menyiapkan kompetensi dari para anak didik untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan kompetensi dengan peningkatan kompetensi Teknologi Informasi yang terintegrasi di setiap mata pelajaran dan pemberian porsi lebih di beberapa bidang mata pelajaran berbasis pembentukan karakter peserta didik.

Walaupun penerapannya masih dalam tahap uji coba setidaknya kita memiliki gambaran tentang pendidikan nasional menurut pemerintah.


Tujuh Jurus Memupuk Pendidikan Karakter

Di sini saya ingin memberikan pendapat saya mengenai beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh segenap pemangku kepentingan di dunia pendidikan Indonesia, baik itu pemerintah, pendidik, anak didik, pihak swasta maupun pihak lain untuk dapat dijadikan masukan maupun khasanah ilmu bagi perbaikan pendidikan berbasis karakter di Indonesia.

Yang pertama dilakukan adalah pemerataan kualitas pendidik atau guru di setiap daerah. Pemerataan ini bukan hanya dilakukan dengan menyebar pendidik di pulau jawa untuk mengajar di wilayah lain di Indonesia tetapi lebih kepada bagaimana potensi putra daerah dapat diberdayakan secara maksimal. Peningkatan kualitas putra daerah tentu akan membuat pemerataan ini lebih bersifat kekeluargaan dan tidak ada sifat “iri” karena adanya perbedaan pandangan terhadap kualitas pendidik di berbagai wilayah yang ada. Bagaimana cara agar kualitas pendidik di setiap daerah menjadi setara? Tentu dengan pemberian kesempatan dari pemerintah daerah khususnya Dinas Pendidikan di tingkatan provinsi dan kabupaten, karena yang akan mengetahui medan dari pendidikan di sebuah daerah tentu lebih dikenali oleh “pemilik” daerah tersebut. Dari sini pendidikan karakter akan lebih menunjukkan progres dengan adanya pemahaman dari kondisi daerah.

Kedua, melakukan evaluasi terhadap pemerataan akses informasi di setiap daerah. Akses informasi yang dimaksud adalah buku pelajaran, akses internet, maupun alat peraga pelajaran. Informasi menjadi keniscayaan yang penting bagi majunya dunia pendidikan sekaligus sebagai bumerang kalau tidak diantisipasi dengan baik. Seorang pendidik diharapkan memiliki akses informasi yang luas mengenai dunia luar agar tidak kalah dengan anak didiknya. Ketika mengoperasikan internet saja belum mahir tentu akan kalah dengan anak didik yang sudah mahir berinternet ria. Di sinilah PR besar bagi akses informasi yang harus dimiliki seorang pendidik agar selalu bisa mengikuti perkembangan zaman, sekaligus dapat mengontrol peserta didik agar selalu berada dalam nilai dan norma yang ada di masyarakat.

Ketiga, infrastruktur yang lebih ramah terhadap perkembangan karakter peserta didik. Seringkali sekolah menjadi sebuah tempat “penyiksaan” bagi kreativitas peserta didik. Padahal pengekangan  kreativitas ini akan menimbulkan berbagai sifat dan perilaku yang negatif. Coba bandingkan antara sekolah formal di bangku SD, SMP, SMA dengan bangku TK. Dari segi infrastuktur, sekolah TK lebih ramah terhadap perkembangan peserta didik. Tempat permainan bersama menjadi tempat untuk bersosialisasi. Tembok yang memiliki gambar-gambar yang unik dan pemberian pesan-pesan moral di dalamnya. Bandingkan dengan di bangku SD, SMP dan SMA yang cenderung datar. Ruang berekspresi maupun pemberian pesan-pesan moral menjadi dilupakan. Sekolah seperti tempat yang cenderung kaku dan ditambah lagi bayang-bayang pelajaran yang sulit.

Keempat, masalah porsi pelajaran. Sering ketika kita menanyakan kepada seorang peserta didik, apa yang didapatkan dari bangku sekolah? Maka tidak asing kita mendengar kata “ilmu” yang berupa hafalan, tugas yang menumpuk, Ulangan yang mengharuskan peserta didik untuk menggunakan sistem SKS (sistem kebut semalam) atau ketakutan akan Ujian Nasional. Berbagai tuntutan yang dialamatkan kepada seorang peserta didik akan membuat suasana pembelajaran menjadi kaku. Peserta didik yang memiliki motivasi untuk belajar sambil bermain atau belajar sambil mengembangkan bakat menjadi kehilangan wadahnya. Peserta didik yang memiliki keahlian di bidang seni maupun olahraga menjadi seorang peserta didik yang dianggap kalah (dalam hal akademik). Sedangkan peserta didik yang pandai secara akademik cenderung kurang bisa memacu keterampilan khusus. Bakat-bakat muda menjadi tidak berkembang bahkan hilang.

Di sinilah perlunya menggelorakan kembali kegiatan ekstra kurikuler yang beragam dan memiliki daya tarik bagi peserta didik. Kegiatan ekstra kurikuler menjadi sebuah pilihan positif bagi perkembangan bakat dan minat peserta didik sekaligus menjadi ajang untuk melatih mental atau karakter. Sekolah yang didesain untuk menumbuhkan bakat dan minat seorang peserta didik membuat tempat berekspresi mereka menjadi lebih banyak. Bukankah setiap anak memiliki berbeda dan memiliki bakat masing-masing? Dan sudah tidak sepatutnya kita mengekang dengan banyaknya pelajaran yang istilahnya hanya untuk sekedar mengisi raport peserta didik dan menjadi angin lalu ketika sudah selesai ujian.

Kelima, menggelorakan kembali kultur daerah sebagai penopang karakter peserta didik. Dengan keberagaman yang ada di setiap daerah adalah tantangan bagi pendidikan di Indonesia. Kita tak akan bisa memiliki sistem pendidikan yang baik, kalau kita tidak memahami budaya yang ada di negara kita. Kita boleh melihat sistem pendidikan negara lain seperti Finlandia maupun Amerika Serikat dengan sistem pendidikan yang ada. Tetapi kita tidak boleh melupakan tempat sistem itu diaplikasikan. Kita tahu beragam kultur daerah masih melekat di masyarakat. Budaya atau kultur ini bisa dijadikan suatu sistem yang bersifat mandiri dalam meramu pendidikan di setiap daerah. Budaya yang dimaksud  adalah bahasa daerah maupun tradisi yang ada. Melalui budaya tersebut tentu memuat di dalamnya nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Mungkin saja budaya setiap daerah berbeda bahkan bertolak belakang, tapi dari sistem pendidikan yang berbasis budaya daerah akan mampu menciptakan perspektif baru bagi dunia pendidikan yang tidak melupakan kekayaan budaya daerah sekaligus sebagai penopang bagi penanaman nilai dan norma yang akan membentuk karakter peserta didik.

Keenam, dengan penanaman nilai-nilai agama. Nilai agama menjadi sebuah subjek yang fundamental terhadap ramuan dari sistem pendidikan di Indonesia. Dengan enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia tentu harus diberikan porsi secara tepat. Seorang peserta didik harus dibekali nilai-nilai agama sesuai dengan apa yang dianutnya. Jadi nilai-nilai agama ini akan menjadi sebuah koridor perjalanan spiritual dari perkembangan peserta didik.

Ketujuh, semangat Nasionalisme atau cinta tanah air. Di subjek yang terakhir ini menjadi hal yang harus disadari secara bersama yaitu penanaman nasionalisme kepada para peserta didik. Lewat jiwa nasionalisme ini akan muncul patriotisme. Dari sinilah akan timbul semangat untuk memajukan bangsa dan kerelaan untuk berkorban demi bangsa. Dari penanaman nasionalisme di dunia pendidikan tentu akan lebih memperkuat semangat untuk berbuat dan berkarya dalam memajukan negara. Sehingga diharapkan akan ada kesadaran dari peserta didik sebagai generasi muda agar mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Sehingga menjadi harapan bersama kita tak akan mendengar perbuatan korupsi yang dilakukan secara sistematis dan berkelompok, tetapi dapat mendengar putra-putra bangsa secara berkelompok maupun individu saling berlomba dan menciptakan kreasi di kancah Internasional maupun nasional dengan semangat mengharumkan nama bangsa.

Dari ketujuh hal yang menjadi pertimbangan saya terhadap dunia pendidikan ini tentu dapat dijadikan tambahan dalam dunia pendidikan kita. Sebagai salah satu unsur pendidikan tentu berharap bahwa pendidikan bukan hanya dijadikan sebagai sebuah media untuk membuat seorang manusia menjadi robot ataupun hanya berfungsi sebagai mesin fotokopi, tetapi pendidikan yang tidak kehilangan identitas nasional maupun identitas budaya, sehingga peserta didik dapat menjadi manusia yang berproses secara utuh, yang menyemai semangat dan menularkan gagasan-gagasannya serta tentu saja tetap memiliki jiwa nasionalisme dan bangga dengan budaya daerahnya.

Akhirnya saya tutup opini saya dengan sebuah kalimat "Without knowing the force of words, it is impossible to know human beings" (Konfusius).


*) Mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2010

0 komentar :

Posting Komentar

Berikan komentar Anda untuk tulisan di atas...,