Oleh : Muhammad Kridaanto
Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Sebuah lagu singkat yang berjudul “Kasih Ibu” ini tak sesederhana liriknya. Ada pelajaran, hikmah dan nilai moral yang mendalam dan bermakna. Begitu banyak kisah dan untaian kata dalam peradaban dunia yang mengungkap ucapan “terima kasih ibu” atau “Maafkan aku ibu”. Memang kasih sayang seorang ibu tidak akan dapat dibalas dengan kekayaan apapun, karena cintanya abadi. Menembus ruang dan zaman.
Begitu pula denganku. Ada banyak cerita mengenai ibuku, karena beliau selalu di sisiku. Mengarahkan langkahku agar tak salah. Walau wejangan-wejangan yang terkadang membuatku jemu, tetapi tujuannya tentu saja untuk meluruskan kembali langkahku. Tapi semakin lama semakin kumengerti tentang alasan kenapa beliau begitu memperhatikan anak-anaknya, tak lain karena hati yang begitu halus dan kepedulian yang begitu besar. Kasih sayangnya seluas samudera.
Begitu pula denganku. Ada banyak cerita mengenai ibuku, karena beliau selalu di sisiku. Mengarahkan langkahku agar tak salah. Walau wejangan-wejangan yang terkadang membuatku jemu, tetapi tujuannya tentu saja untuk meluruskan kembali langkahku. Tapi semakin lama semakin kumengerti tentang alasan kenapa beliau begitu memperhatikan anak-anaknya, tak lain karena hati yang begitu halus dan kepedulian yang begitu besar. Kasih sayangnya seluas samudera.
Belum begitu lama
peristiwa kecelakaan yang kualami. Kira-kira sekitar lima bulan yang lalu, saat
aku terpaksa beradu dengan kerasnya aspal jalanan. Kejadian kecelakaan itu menjadi
pelajaran berharga untukku. Menjaga keselamatan saat berlalu lintas dengan tidak
memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Walaupun masih pagi
sekitar pukul 05.00, aku sudah bersiap-siap memanaskan mesin sepeda motor untuk
bergegas sampai di rumah. Perjalanan dari kos dekat kampus hanya membutuhkan waktu
sekitar satu jam untuk sampai ke kampung halaman. Sudah sekitar satu bulan aku
tak pulang, selain karena tugas kuliah yang banyak, aktivitas di beberapa organisasi
mengharuskanku untuk menikmati beberapa weekend
di kawasan kampus. Nah, selain karena persediaan uang bulanan yang menipis juga
penyakit homesick (rindu kampung
halaman) yang membawaku ingin cepat pulang.
Setelah memasukkan beberapa
barang ke dalam tas, akhirnya aku segera melajukan sepeda motorku. Udara yang masih
sejuk dan sepinya jalanan menjadikan aku bagaikan seorang raja yang menguasai jalanan.
Cukup kuat kutarik gas motor hingga mencapai kelajuan lebih dari 80 km/jam. Tetapi
Musibah tak dapat ditampik. Tiba-tiba saja motorku masuk ke sebuah lubang jalan
yang menganga besar, tanpa sempat aku menghindarinya. Sontak motorku melompat dan
jatuh bersama dengan badanku yang masih memegang motor dengan kuat.
Brukkk…., motorku jatuh
terseret beberapa meter, sementara aku juga mendengar suara helmku yang berbenturan
dengan aspal. Kaki kiriku terapit oleh bodi motor sehingga aku tak bisa bangun.
Terjepit.
Untunglah di dekat tempat
kejadian ada dua orang bapak yang segera menolongku. Aku diangkat menuju sebuah
tempat duduk warung di dekat tempat kejadian dan memposisikan tubuhku dalam
posisi terlentang. Aku meringis kesakitan dan kulihat kakiku yang sedang asyik
mengucurkan darah dan celana yang robek. Rasa pegal segera menyelimuti kaki,
tetapi aku masih bersyukur helm yang kupakai masih setia menyelamatkan kepalaku
dari kerasnya aspal jalanan.
Tak berselang lama sekitar
20 menit, sambil tiduran aku mengobrol dengan dua orang bapak yang menolongku.
Sedikit demi sedikit aku memulihkan kondisiku, apalagi setelah aku diberitahu bahwa
sepeda motorku masih normal, hanya kaca lampu depan dan bodi bagian depan yang
pecah.
Sebelum kakiku semakin
pegal dan kram, aku putuskan untuk meneruskan perjalanan lagi. Walaupun kedua bapak
itu melarang dan menyuruhku untuk menelepon keluarga untuk menjemputku, tapi aku
meyakinkan mereka bahwa kondisiku masih cukup stabil.
Aku melihat jam di handphone yang menunjukkan 07.30, artinya
di rumahku sudah kosong karena orang tua pasti sudah berangkat kerja. Dengan
berusaha meyakinkan kedua bapak itu, akhirnya aku meneruskan perjalanan ke rumah.
Sekarang aku melajukan motorku dengan cukup pelan, karena luka di tangan yang
cukup perih sehingga akhirnya sekitar pukul 08.30 aku sampai juga di rumah.
Sampai di rumah ternyata
sudah ada adikku yang juga pulang kampung dari tempat dia kuliah. Segera aku
tiduran dan dirawat olehnya. Luka dari kecelakaan itu memang cukup banyak. Hampir
bagian kaki dan tangan ikut terkena benturan dengan aspal. Setelah luka yang
dibersihkan dan diberi PPPK agar tidak infeksi, lalu aku tertidur.
Sekitar waktu zuhur aku
terbangun, tepat ketika ibu masuk rumah dan melihatku dengan kondisi luka-luka.
Ibu sontak berucap, “Ya Allah,
kenapa itu nak? Kok sampai seperti itu?”
Dengan membenarkan
posisi dudukku, aku menghela nafas sebentar dan menjawab, “Iya bu, tadi pagi aku
jatuh dari motor tapi cuma luka, tidak apa-apa.”
Ibu begitu khawatir,
berbagai pertanyaan ditujukan, mulai dari kecelakaan sampai mengecek bagian dari
tubuhku yang mana saja yang sakit. Tak selang begitu lama bapak juga pulang dari
kantor, beliau juga terkejut melihat anaknya terkapar di kasur dengan luka-luka.
Tetapi keterkejutan bapak tidak seheboh ibuku. Bahkan ibu segera meminta bapak
untuk mengantarkanku mengecek kondisi secara medis di rumah sakit. Kekhawatiran
ibu memang kelihatan sekali dengan kondisi anaknya.
Hampir dua minggu aku
terkapar di kasur, rasa nyeri ketika berjalan membuatku begitu hati-hati. Dan
selama dua minggu ibu selalu memberikan perhatian, mulai dari makanan dan asupan
gizi, bahkan meminta ayahku memanggil tukang pijat untuk mengecek apakah ada bagian
tubuh yang terkilir. Kasih Ibu memang luar biasa besar, di waktu beliau yang
begitu padat, kasih sayangnya masih terus kurasakan.
Saya teringat sebuah kisah
ketika seorang laki-laki datang menemui Nabi Muhammad SAW dan bertanya : “Ya
Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan baikku?”
Beliau menjawab :
“Ibumu.”
Ia bertanya lagi : “Lalu
siapa?”
Beliau menjawab :
“Ibumu.”
Ia bertanya lagi : “Lalu
siapa?”
Beliau menjawab :
“Ibumu.”
Ia bertanya lagi : “Lalu
siapa?” Beliau menjawab: “Bapakmu” (HR. Bukhari)
Sosok Ibuku |
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Sahabat tercinta,
BalasHapusSaya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah mengikuti Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera di BlogCamp. Setelah membaca artikel peserta saya bermaksud menerbitkan seluruh artikel peserta menjadi buku.
Untuk melengkapi naskah buku tersebut saya mohon bantuan sahabat untuk mengirimkan profil Anda dalam bentuk narasi satu paragraf saja. Profil dapat dikirim melalui inbox di Facebook saya atau via email.
Jangan lupa cek email ya, ada berita penting
Terima kasih.
Terima kasih Pakdhe. artikel siap ikut dibukukan.
BalasHapusDan email sdh saya buka. :-)
Salam hangat dr Semarang Pakdhe.
Membacanya, sungguh hati saya berdesiran, dan betapa kangen diri ini kepada ibu di jombang sana.
BalasHapusTerima kasih pak Akhmad Muhaimin Azzet. Kasih sayang Ibu selalu membuat rasa kangen. :)
BalasHapusBerkunjung lagi kemari ya, Mas :)
BalasHapusIya Kang Azzet. Hehe..,
Hapuswah yg ini pake akun baru dr blog www.kedaikangazzet.blogspot.com :D