Minggu, 21 Januari 2024

Podcast Lembaga Dakwah PCNU Kendal Bahas Budaya Kepyur, Begini Ulasannya



Kendal, pcnukendal.com - Hukum kepyur menjadi salah satu topik Podcast Serial ke-3 Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) PCNU Kabupaten Kendal di Ballroom Bank Nusamba Cepiring, Sabtu (13/01/2024).

Wakil Katib PCNU Kendal KH. Moh. Muzakka Mussaif yang bertindak sebagai moderator mengawali pengantar dengan menjelaskan defisini kepyur. Istilah kepyur berasal dari Bahasa Jawa yang artinya menaburkan sesuatu yang sifatnya kecil pada tempat tertentu bisa berupa makanan, bisa di lantai atau tanah.

“Budaya kepyur sendiri adalah budaya seseorang memberikan bagian kecil bisa berupa uang atau barang atau makanan kepada pihak lain untuk menjalin silaturahmi atau pendekatan kepada masyarakat,” terang Kiai Muzakka.

“Di desa, ada tradisi kepyur duit, contohnya pada acara tedhak siten. Namun, budaya kepyur ini sering dimaknai negatif dalam kehidupan sekarang, karena selalu disangkutpautkan dengan pemilihan aktivitas politik,” lanjutnya.

“Lalu bagaimana hukumnya, apakah uang/barang kepyuran itu bisa dimaknai sebagai sedekah, uang transport atau dihukumi haram sebagaimana suap? Kalau ini dianggap negatif bagaimana mengubah budaya ini dari negatif ke positif,” kata Kiai Muzakka membuka diskusi.

Ketua LDNU Kendal KH. Yusro Mubarok lantas memberikan tanggapan bahwa kepyur bukan masuk kategori uang sogokan atau risywah. Kepyur termasuk budaya masyarakat.

“Contohnya ketika seseorang membeli kerbau, kemudian kerbau tersebut diarak keliling desa lalu saat akan memandikan kerbau di sungai, si pemilik akan mengepyurkan uang logam agar anak-anak ikut membantu menggosok dan membersihkan kerbau,” tutur Kiai Yusro.

“Kepyur pada kegiatan politik bisa juga dikategorikan sebagai pengganti atau bisyaroh dan hukumnya boleh. Apalagi ada hadis Nabi asshodaqatu thuthfi’ul balaa, sedekah menolak bala. Hanya saja lebih baik ditertibkan, misalkan ada 3 atau 4 calon patungan untuk memberi bisyaroh, sebagai ganti transport atau pengganti uang kerja kepada masyarakat yang ke TPS dengan ada batasan nominal kepyur tersebut,” lanjutnya.

Senada dengan Kiai Yusro, Ketua Pergunu Kendal KH. Muhammad Umar Said berpendapat bahwa kepyur memang budaya, walaupun secara bahasa juga bukan masuk ketegori risywah. Namun, ia menyoroti kepyur dari mudharat yang ditimbulkan.

“Misalkan pencalonan kepala desa atau pemilihan politik lainnya, orang yang kepyur mempunyai niat kurang baik, bisa karena dana kepyur ini berasal dari utang atau ada ‘botoh’ yang menjamin. Nanti ketika menjadi pemimpin dia akan makan uang rakyat. Dalam Islam sendiri memandang kepemimpinan dengan kriteria pemimpin yang amanah, pintar dan sebagainya. Selama kepyur itu masih membudaya dan tidak ada edukasi untuk meningkatkan pola pikir masyarakat. Maka rasanya sulit mendapat pemimpin yang benar-benar baik,” jelas Kiai Umar.

“Misal karena masih miskin, mungkin boleh menerima kepyur. Tetapi kalau yang berkecukupan dan memiliki ilmu serta berpendidikan, maka memilih seseorang berdasarkan rasional. Di sinilah prinsip al hukmu yaduru ma'a illatihi wujudan wa adaman (dalam mewujudkan atau meniadakan hukum tergantung kepada illat-nya),” imbuhnya.

Pendapat hukum kepyur bergantung pada konteks atau illat-nya dijelaskan pengurus LDNU Kendal Muhammad Amirudin.

“Kepyur itu diperbolehkan ketika dari awal fulan ingin memilih si A dan menerima pemberian dari si A. Namun yang tidak diperbolehkan ketika hari pemilihan si B membayar fulan untuk memilih dia, dengan tujuan mengalihkan pilihan. Yang lebih penting lagi adalah dengan mengedukasi masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang terbaik dengan melihat track record dan kapabilitas calon,” kata Amirudin.

Katib Syuriyah PCNU Kendal KH. Abdul Majid menanggapi kepyur bila diartikan secara bahasa sangat luas sebagaimana dijelaskan Kiai Yusro dan Kiai Umar Said. Menurut nya, perlu adanya pembatasan istilah atau defisini kepyur, apakah termasuk hadiah, sedekah, atau hibah.

“Karena ini juga akan sangat menentukan suatu hukum dan perlu diingat sebuah kaidah ushul fiqh, maqashid al-lafdzi ‘alaa niyyah al-laafidz (maksud sebuah ucapan dikembalikan kepada niat si pengucap),” ucap Kiai Majid.

Berdasarkan 4 penanggap tersebut, Rois Syuriah PCNU Kendal KH. Muhammad Danial Royyan yang menjadi narasumber menjelaskan. Abah Danial kemudian mengutip kaidah al 'adatu muhakkamah, sebuah adat kebiasaan masyarakat, bisa dijadikan sebagai sandaran.

“Ada pemikiran-pemikiran dari beragam argumen tadi yang perlu dipertemukan, al-jam'u wa al-tawfiq, kompromi antara dalil-dalil yang saling bertentangan dengan mencari solusi yang dapat diterima. Melihat beragam pendapat yang berdasar perspektif idealisme, sementara yang lain melalui pragmatisme bahkan oportunisme,” ungkapnya.

“Dalam Islam ada perbedaan perlakuan hukum karena tingkat keilmuan seseorang. Misalkan bagi seorang sufi alim, ya janganlah. Sedangkan jika ada orang awam jika menjadikan dia tidak milih, ya dikepyurlah,” lanjut Abah Danial.

Abah Danial juga menerangkan perlu adanya edukasi kepada masyarakat untuk mengubah suatu budaya yang sudah membudaya lama, tetapi tidak bisa secara frontal. Rasionalitas publik dan penguatan demokrasi didorong melalui ikhtiar yang gradual atau bertahap.

“Jadi ini bukan hukum yang tasydid (memberatkan), tapi takhfif (keringanan) yang memiliki makna sebagai hadiah untuk menarik simpati, perkenalan, dan berbuat baik kepada orang lain,” pungkasnya. (Muhammad Kridaanto/muf)

Sumber:  https://pcnukendal.com/informasi/id/20240120001/podcast_lembaga_dakwah_pcnu_kendal_bahas_budaya_kepyur_begini_ulasannya

Tanggal Rilis: 20-01-2024

0 komentar :

Posting Komentar

Berikan komentar Anda untuk tulisan di atas...,